JEJAKLANGKAH, BUDAYA – Sakera yang merupakan sebuah simbol
bagi masyarakat Kabupaten dan Kota Pasuruan ini menyimpan berbagai macam
sejarah dan cerita yang panjang. Sekilas, Sakera merupakan julukan yang berasal
dari bahasa Kawi, artinya ringan tangan dan ramah.
Masyarakat Pasuruan menyebut Sakera merupakan seorang
pemuda yang memiliki keberanian, semangat tinggi dan daya juang yang gigih
untuk menegakkan keadilan masyarakat Pasuruan kala itu.
Kisah cerita yang heroik dari Sakera tidak hanya
menjadi lakon cerita rakyat dalam seni tradisional pertunjukan ludruk saja,
melainkan cerita ini sempat dilirik dan diproduksi oleh industri perfilman
tanah air pada tahun 1982.
BZ Kadaryono, Seorang ahli sutradara dan penulis scenario
sejarah kala itu membuat Film berjudul Pak Sakerah dengan artis film ternama di
era 80-an yakni; WD Mochtar sebagai Sakera, Alan Nuari (Brodin), Minati
Atmanegara (Marlena, isteri muda) Chintami Atmanegara, Tien Kadaryono (Kinten,
istri tua), Usbanda, Chaidar Djafar dan Sofia WD.
Diceritakan bahwa Sakera merupakan seorang
pemuda dari Pulau Madura yang merantau ke Jawa Timur. Pemuda itu bernama Sagiman.
Ia memutuskan untuk meninggalkan kampung halamnnya (Red: Madura) untuk mengadu
nasib di luar pulau. Mengadu nasib di luar pulau memang telah menjadi tradisi
bagi masyarakat Madura, tak khayal apabila kita menemui orang Madura tersebar
dimana-mana. Kebanyakan dari mereka menjadi pedagang di berbagai wilayah.
Sakerah, memulai perantauan nasibnya di suatu
wilayah yakni Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan. Di sana ia merasa cocok,
dengan iklim Pasuruan yang kala itu masih dataran tinggi hijau membuat udara
dan suasana di wilayah Pasuruan kala itu sejuk dan nyaman.
Ia pun merasa nyaman di Pasuruan melihat hamparan
dataran tinggi, perkebunan sayuran, palawija, persawahan, tebu dan lainnya. Sebelumnya,
ia tak menjumpai suasana seperti yang ada di Pasuruan. Akhirnya ia pun
memutuskan untuk tinggal dalam waktu cukup lama di Pasuruan.
Ternyata, di Pasuruan ia juga menjumpai banyak warga
keturunan Madura, hal itu menambah mantapnya hati Sakera untuk tinggal di
Pasuruan. Sakera dalam kesehariannya bekerja sebagai mandor perkebunan tebu
milik Belanda. Pekerjaan utama Sakera adalah mengawasi pengairan lahan
perkebunan tebu.
Perjuangan
Bersama Buruh yang Tertindas
Rentang waktu yang cukup lama ia bekerja di
perkebunan tebu milik Belanda, ia menemua sebuah tindak ketidakjujuran dan
ketidakadilan para pengelola perusahaan tebu. Melihat hal tersebut pada awalnya
hanya berdiam diri saja.
Namun, tindakan tersebut dilakukan terus menerus
dalam waktu yang cukup lama, dan Sakera mengetahuinya. Melihat kesenjangan
masyarakat yang semakin mengangga dimana kaum Pribumi kala itu hidup dengan
jauh dari kata layak sedangkan para penjajah dan petinggi perusahaan tebu
Belanda hidup dengan mewah.
Gaji para buruh pabrik dalam hal ini gaji para
pribumi yang kian hari kian dipotong dan menurun membuat Sakera merasa geram.
Melihat permasalahan dan kenyataan yang semakin parah tersebut, Sakera tergerak
hatinya untuk menolong para buruh yang tertindas. Ia menyadari, apabila dirinya hanya berdiam diri
saja tanpa berbuat sesuatu justru akan semakin meperparah keadaan dan membari
kesempatan pegawai Belanda untu memperbesar kecuragannya. Para buruh akan
semakin miskin dan para petinggi perusahaan semakin kaya.
Sakera pun mengambil tindakan dengan perlahan untuk
mencari dalang dari ketidakjujuran para petinggi Belanda merugikan para pribumi
(Red: buruh pabrik). Setelah lama dengan jeli mencari dan menyelidiki oknum
yang memeiliki peran besar dari kecurangan yang terjadi, akhirnya Sakera
berhasil menemukan dalang kecurangan tersebut.
Lain tidak lain, beberapa atasan pegawai Belanda
yang menskenario tindak kecurangan sehingga mencekik gaji para buruh tebu yang
notabene para pribumi. Ketika di klarifikasi oleh Sakera terkait perbuatannya
salah satu atasan pegawai Belanda mengelak atas beberapa tuduhan yang
disampaikan oleh Sakera terkait perbuatannya.
Atasan pegawai Belanda itu pun tidak terima, di
tuduh melakukan perbuatan tidak adil yang kemudian mengancam Sakera akan
dilaporkan ke Pimpinan Perusahaan. Dengan tegap dan berpegang teguh dengan
kebenaran, Sakera tidak gentar dengan ancaman yang diberikan oleh atasan
pegawai Belanda tersebut.
Semakin hari, perseteruan antar Sakera dan atasan
pegawai belanda semakin runcing dan panas. Intimidasi dan beberapa tindakan
seperti potongan gaji, pembatasan, pengalihan, hingga pemberhentian kerja yang
diterima saat itu membuat Sakera semakin geram. Sampai pada suatu ketika
perseteruan tersebut berujung pada pertumpahan darah.
Sakera terpaksa menghabisi pegawai Belanda itu
dengan celuritanya ketika ia ditentang berkelahi. Kejadian itu terjadi di dalam
kantor di ruangan atasan pegawai Belanda. Ketika Sakera bermaksud menuntaskan
masalah kecurangan dan serangkaian hal tindakan yang dilakukan oleh pegawai
Belanda.
Tanpa disangka, pegawai Belanda itu naik pitam dan
mengancam Sakera dengan pistolnya yang ada di samping pinggangnya. Sebelum
pistol pegawai Belanda itu menyalak, clurit Sakera terlebih dahulu menebas
leher pegawai Belanda itu hingga tewas bersimbah darah.
Para pegawai Belanda lainnya merasa aneh dengan
tingkah laku Sakera pada saat keluar dari ruangan atasan pegawai Belanda dengan
baju berlumuran darah. Salah seorang pegawai Belanda lainnya mencari tahu.
Betapa terkejutnya saat ia melihat atasannya
terbujur lemas dengan lumuran darah di dalam ruangan yang baru saja
ditinggalkan Sakera. Dengan sigap pegawai yang mengetahui hal tersebut langsung
melaporkan perbuatan Sakera membunuh pimpinannya. Akhirnya Sakera dijebloskan
ke dalam penjara.
Penjara merupakan resiko yang harus diterima dari
perjuangannya membela pekerja kebun tebu yang tertindas. Dengan dada lapang, ia
menurut untuk digelendang polisi belanda masuk dalam bui kala itu.
Para pekerja tebu bersuka ria atas tewasnya salah
seorang pegawai Belanda yang selama ini telah menyengsarakan hidup mereka.
Mereka sepenuhnya mendukung perjuangan Sakera dalam membela nasib mereka yang
dipermainkan oleh pegawai Belanda tersebut. “Hidup Sakera, Hidup Sakera, kau
orang benar! Jangan takut dan mundur selama kau benar,” Gambaran sorak sorai
para buruh kala itu.
Diburu
Belanda dan Dikhianati Pribumi
Tak lama ia di penjara, beberapa tahun beralalu
akhirnya di keluarkan karena bukti-bukti tindak kecurangan, korupsi dibenerakan
dan dimenangkan dalam pengadilan kala itu, dengan buruh tebu yang merasa di
rugikan sebagai penuntut. Sakera pun keluar dari penjara disambut hangat oleh
masyarakat pasuruan yang sebagaian besar buruh perusahaan tebu.
Meskipun lepas dari penjara, Sakera pun tetap
mendapat pengawasan dari Pemerintah Belanda, karena tingkat kritis pengetahuan
dan membela masyarakat pribumi. Ia pun di
cap sebagai ekstrimis oleh Pemerintah Belanda, Bromocorah (pembuat onar) dan penjahat kejam oleh antek-antek
Belanda.
Lepas dari penjara Sakera tetap kritis pada
masalah-masalah sosial di Pasuruan yang ada kala itu. Pemikiran kritis dan
gigih dalam memperjuangkan hak-hak rakyat tetap tertanam dalam dirinya. Hingga
ia mempelopori aksi angkat senjata celurit pada awal abad ke-19.
Aksi tersebut menjadi simbol perlawanan Sakera dan
masyarakat bawah untuk bergerak melawan segala bentuk penindasan kaum penjajah.
Masyarakat dengan dipelopori Sakera mulai berani melakukan perlawanan di
berbagai daerah.
Namun, karena pendidikan yang masih rendah dan
politik licik (devide et impera) Pemerintah Hindia Belanda sangat handal.
Gerakan Sakera akhirnya berujung pada penggembosan dan penghkhianatan antar
sesame pribumi yang membuat anak bangsa itu saling bunuh satu sama lain. Para
Pejuang seperti Pak Sakera diadu dan dihasut dengan kaum Blater (jagoan)
pribumi untuk saling berkhianat satu sama lain dengan iming-iming harta.
Sejatinya, Sakera memiliki kesaktian yang luar biasa
ia dikenal bilih tanding dan selama ini sangat sulit untuk ditangkap maupun
dibunuh oleh antek-antek Belanda. “Pak Sakera sulit untuk diketahui
persembunyiannya. Kesaktiannya waktu itu tak ada yang bisa menandinginya,” urai Faisol, Tokoh Desa Tampong, Kecamatan
Rembang, Kabupaten Pasuruan.
Pemerintah Belanda kala itu kemudian mengadakan
sayembara terbuka yakni menjanjikan akan memberikan seluruh hasil penarikan
pajak pasar se- Karasidenan Pasuruan kepada setiap petarung atau jawara silat
yang berhasil menangkap dan mengalahkan kesaktian Pak Sakera.
“Pak Sakera sempat beradu kesaktian dengan seorang
lelaki misterius. Konon, lelaki itu memiliki kemampuan yang hampir sama dengan
Pak Sakera. Tetapi kemudian, ia pergi tanpa melakukan penangkapan pada Pak
Sakera,” urai Martina Ari Saraswati, dalam skripsinya yang membahas tentang
Perjuangan Sakera.
Seperti nasib pahlawan daerah lainnya, Sakera
ditaklukan oleh Pemerintah Belanda setelah mereka berhasil menghasut dan
memecah belah rasa persaudaraan antar sesama Pribumi. Teman seperguruan Sakera
di Batu Ampar, Madura H Asil dan H Bakri bersekongkol dengan Pemerintah dengan
memberikan informasi terkait kelemahan Sakera.
Berdasarkan hasil penelusuran, Gubermen (Gubernur)
Belanda waktu itu, Pemerintah mendapat kabar jika Sakera memiliki beberapa
titik kelemahan. “Pak Sakera memiliki kelemahan berupa darah sapi.
Semua kekuatan Pak Sakera hilang setelah terkena darah sapi yang sudah
disiapkan di salah satu lubang oleh antek – antek Belanda,” imbuh Martini,
Mahasiswa ISI Jogjakarta yang mengaku mendapatkan sumber dari kerabat dekat Pak
Sakera.
Sepak terjang Sakera berakhir dengan sebuah kisah
penghianatan yang dilakukan oleh teman seperguruannya sendiri. Menurut sejumlah
versi cerita lainnya, selain darah sapi, Pak Sakera juga memiliki kelemahan
lain yakni bambu apus atau ilalang.
Peristiwa penangkapan Pak Sakera tersebut, dilakukan
dengan cara menggelar hajatan berupa tarian tandak atau tayuban dengan penari
samirah di Desa Tampung, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan.
Sakera sangat mengidolakan penari tandak tayub yang
bernama Samirah. Kali ini, piha Pemerintah Belanda mengundang Samirah untuk
memancing Sakera datang dalam hajatan tersebut. “Pak Sakera itu sangat
mengidolakan tari tandak tayub Samirah,” ujar Bagong Sabdo Sinukerto, pemerhati
seni dan budaya Pasuruan.
Tak disangka kedatangannya dala hajatan seni tari
tandak tayub tersebut ternyata berbuah petaka. Setelah dirinya menampakkan diri
di muka umum, Salah seorang teman seperguruannya yakni H. Asik berpura- pura
mengajak dirinya untuk berlaga seni bela diri di arena Tayub. Sakera terpelesat
dan terjatuh di salah satu lubang yang telah direkayasa sebagai arena panggung
oleh para antek Belanda.
Pak Sakera kemudian ditangkap oleh Belanda dan tubuhnya
diseret beramai-ramai oleh para antek Belanda ke Alun-alun Bangil, untuk
menunjukkan bahwa Sakera dapat ditangkap dan ditaklukan. Tubuh Sakera tak lecet
sedikitpun padahal sebelumnya sempat diseret beramai-ramai dari lokasi awal
penangkapan hingga Alun-alun Bangil berdasarkan cerita warga.
Berbagai macam tuduhan tak jelas arahnya, seperti
pembunuh kejam, ekstrimis, pembuat onar dan lainnya dutuduhkan kepada Sakera
sehingga dia dijatuhi hukuman. Meski tuduhan tersebut tak berbanding dengan
hukumannya namun hukuman tersebut tetap dijalankan oleh Pemerintah Belanda yang
berkuasa kala itu.
Sakera kemudian menghembuskan nafasnya setelah
mendapatkan hukuman picis dari
Pemerintah Belanda. “Ia dihukum picis
(sebagian menyebut, hukum gantung di tengah alun – alun Bangil,”tambah Martini.
Sakera merupak sosok seorang tokoh yang sangat taat
pada agama, hal tersebut tercerminpada saat sebelum menjalami hukuman yang kejam tersebut,
konon, Pak Sakera sempat meminta untuk bisa menjalankan Sholat Subuh.
“Sekarang, tempat penangkapan Pak Sakera diberi nama
Gang Sakera, sementara lubangnya masih ada di dekat pemakaman umum desa sini,”
ujar Abdul Mu’in, salah seorang warga Desa Tampung, Kecamatan Rembang,
Kabupaten Pasuruan.
Filosofi
dan Gaya Sakera
Sosok heroik Sakera semasa hidupnya menjadi cerita
rakyat yang selalu dikenang bagi masyarakat Pasuruan, terutama para buruh
pabrik tebu Belanda yang berjuang ersama Sakera untuk mengakkan keadilan dan
kesejahteraan bagi para pekerja.
Pamor dan gaya dari Sakera pun menjadi tren bagi
masyarakat Pasuruan, Madura dan daerah Pandalungan. Pakaian keseharian yang
dipakai Sakera adalah pakaian tradisional Madura. Pakaian tersebut memiliki
makna filosofis dibaliknya.
Pakaian tradisional tersebut terdiri dari baju serta
celana hitam longgar dengan kaos garis-garis merah putih atau merah hitam.
Selain itu ada lagi pelengkapnya, yaitu tutup kepala, kain sarung, dan ikat
pinggang. Pakaian ini biasa dipakai oleh para laki-laki untuk busana sehari-hari
maupun resmi.
Baju hitam longgar yang dipakai oleh Sakera dalam
kesehariannya disebut pesa’an. Ada pesa’an yang berwarna putih, yang biasanya
digunakan oleh guru agama atau molang,
seperti dalam legenda wirosableng pun juga busannya menggunakan pesa’an putih. Tapi, pesa’an milik Sakera berwarna hitam. Hal
tersebut yang menjadi ciri khas. Sedangkan celananya disebut gomboran, celana lebar dan agak
cingkrang.
Dominasi warna hitam, yang menjadi ciri khas pesa’an melambangkan sikap gagah dan
pantang menyerah. Ini merupakan sifat kerja khas dari rakyat Madura. Pesa’an dan gomboran yang secara nyata memang serba longgar melambangkan
kebebasan dan keterbukaan orang Madura. Selain itu, bentuk bajunya yang sederhana
melambangkan kesederhanaan.
Nilai
Hidup yang dapat Dipetik dari Perjuangan Sakera
Dari serangkaian sejarah cerita Sakera yang panjang,
terselip nilai hidup yang dapat dipetik untuk menjalani kehidupan. Salah
satunya yakni, Semangat pantang menyerah. Semangat Sakera yang tak
henti-hentinya memperjuangkan keadilan dalam segi dan keadaan apapun kemudia
patut kita teladani dalam kehidupan.
Karena hidup adalah sebuah perjuangan, dan bersama
pengikutnya hampir tak pernah henti-hentinya melawan penjajah. Keluarganya pun
juga mendapat ancaman kematian, beliau selalu berada pada barisan paling depan
melawan bangsa belanda yang kejam. Baginya, kemerdekaan, kebebasan, dan
keutuhan daerah harus diperjuangkan, walau sampai titik darah penghabisan.
Selanjutnya, yakni rela berkorban meskipun dalam
perjuangannya ia kehilangan banyak waktu, tenaga, pikiran, harta ia tetap gigih
dan semangat dalam berjuang. Hidup keluarga dan hidupnya sendiri menjadi
taruhan. Hidupnya adalah benteng dan senjata terakhir melawan penjajah.
Semasa hidupnya dalam berjuang sakera tidak mengenal
suku, ras, agama. Atas nama keadilan dan mekawan penindasan Sakera berdiri
tegak untuk melawan. Ia selalu membela kaum minoritas, pekerja kasar, dan
rakyat jelata.
Sakerah tidak suka kesemenah-menahan Bangsa Belanda
yang menindas kaum lemah. Setiap tindakan tentara belanda, akan selalu di lawan
oleh Sakera dan pengikutnya. Sikap tidak pandang bulu dalam berjuang yang perlu
diteladani dalam kehidupan.
Meskipun pada saat itu Indonesia tidak memiliki
senjata yang kuat seperti Belanda, namun semangatnya bersama buruh melawan
penjajah dengan menggunakan alat seadanya seperti celurit, tombak, parang dan
lainnya. Sedangkan Belanda bersenjatakan alat-alat yang lebih modern seperti
pistol laras pendek dan laras panjang.
Perjalanan perjuangan Sakera dalam memperjuangkan
kaum tertindas khusunya kaum buruh pabrik tebu yang ditindas oleh Belanda kala
itu perlu kita teladani sekarang. Justru kini penjajah tak nampak hidungnya,
penjajah secara perlahan melalu budaya, ekonomi yang secara tidak langsung
berimbas pada masalah sosial seprti kemiskinan, kesenjangan, tindak
ketidakadilan dan lainnya.
Sosok Sakera pun menjadi lambang Provinsi Jawa
Timur. Sakera digambarkan pria kekar berkumis menggunakan pakaian tradisional
Madura yakni hitam dan kaus lurik merah putih yang mempunyai arti yang filosofi
bahwa baju hitam dan celana hitam di atas mata kaki adalah baju khas
Pendalungan.
Pendalungan adalah suatu sifat, karakter, dan budaya
yang multikultural dan sikap hormat terhadap berbagai macam suku dan etnis yang
tinggal di Jawa Timur, seperti misalnya suku Jawa, Madura, Arab, Cina, India,
Pakistan, Dayak, Tengger, Osing dll.
Sedangkan kaos lurik warna merah putih adalah simbol
bendera bangsa Indonesia yang dapat menyatukan berbagai macam suku tersebut
dalam satu Tanah Air, satu Bahasa, dan satu Indonesia.
Sampai saat ini Sakera tetap eksis dan hidup di
masyarakat Pasuruan, namanya pun berkibar di lapangan yang mana supporter sepakbola Pasuruan
menggunakan julukkan Sakera mania. Cerita sejarah perjalanan panjang Sakera pun
tetap hidup di kalangan muda yang menjadi simbol militansi perjuangan arek
pasuruan.
___________
Sinergy Aditya Airlangga
Bachelor Public Adminstration - Brawijaya University
Journalist of Nusantara.news Media
+62 | sinergyadityaa@gmail.com
Comments
Post a Comment