JEJAKLANGKAH, BUDAYA - Bagi masyarakat Jawa Timur, siapa yang
tak mengenal tradisi bantengan. Ya, merupakan suatu tradisi yang menggabungkan
unsur sendra tari, olah kanuragan (ilmu dalam), musik, dan syair/mantra. Seni
Bantengan bukan hal yang baru dan muda, namun ini merupakan bekas tradisi
peninggalan jaman Kerajaan Singosari.
Candi Jago,
Kecamatan Tumpang merupakan salah satu situs peninggalan sangat erat kaitannya
dengan Pencak Silat dan kesenian Bantengan. Dikisahkahkan bahwa, pada masa Kerajaan
Singosari yang dipimpin Ken Arok, bentuk kesenian bantengan berupa gerakan tari
yang dimainkan mengadopsi dari gerakan
kembangan pencak silat dengan alunan gerakan dan kuda-kuda banteng.
Seiring jaman berlalu, tradisi ini juga dikembangkan
dengan atribut tambahan yakni topeng kepala banteng, kain penutup sebagai badan
banteng, lonceng, dan lain-lain. Sehingga berbeda dari awal jaman kerajaan
dahulu yang hanya dengan gerakan saja.
Meskipun berkembang dari kalangan perguruan pencak
silat, namun tidak keseluruhan perguruan pencak silat di Indonesia mempunyai
Bantengan. Di Malang raya, tradisi dan kesenian Bantengan mayoritas berkembang di
masyarakat wilayah pinggiran kota di daerah lereng pegunungan se-Jawa Timur
tepatnya Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi dan
Raung-Argopuro.
Sukrisman, atau yang akrab dipanggil Embah Sukris
merupakan Tokoh Budayawan Jaranan dan Bantengan Malang Raya nampak ramah
mengutarakan mengenai kesenian itu juga bermakna kesenengan (kesenangan).
Kesenengan itu bermakna luas, tidak saja melahirkan rasa kegembiraan, tetapi
juga kegembiraan itu tetap bersandar pada Hyang Gusti.
“Kalau cara saya media-media kesenagan dapat saya
rasakan itu ketika saya membakar kemenyan saat akan atraksi kesenian bantengan
maupun jaranan kepang dor. Walaupun saya ini orang Islam, akan tetapi saya juga
orang jawa, maka saya juga harus mentradisikan kejawaan ini dalam tingkah laku
dan batin, tanpa bertabrakan dengan syariat agama juga. Karena itu nilai
identitas asali kami”, pungkas Embah Sukris
Kini banyak orang menstigmakan bahwa tradisi ini sangat
kental dengan nuansa magis, karena pada praktiknya pemain bantengan kerap
kesurupan (kalap), serta menggunakan sesajen atau wangi-wangian yang menyengat
hidung seperti (dupa/menyan).
Karena nuansa magis tersebut, banyak orang dari
kalangan religius sedikit memandang sebelah mata tradisi ini, lontaran sesat,
sirik, pemain jin dan iblis pun kerap terlontar pada pelaku tradisi ini.
Hal itu menjadi persoalan bagi Embah Sukris, dimana
orang beberapa orang yang tak bertanggung jawab memvonis tindakan berkesenian Bantengan,
sesat apalagi tahap fase Kalap (Kesurupan).
“Dianggap kami memuja setan, ketika melakukan
kesenian tersebut. Itu merupakan pandangan yang kurang benar. Setan itu
menganggu kok dipuja, apabila pemain yang Kalap
tersebut adalah setan pasti sudah mencelakakan yang bersangkutan. Yang
masuk kedalam jiwa para pemain bantengan itu adalah sebagian kekuatan kecil
yang ada di alam ini, itupun atas ijin Hyang Maha Kuasa, tanpa restunya, maka
hal itu tak mungkin terjadi” bantah Embah Sukris
Pandangan
Islam terhadap Tradisi Bantengan
Tradisi Bantengan dianggap sebelah mata, bagi
beberapa kalangan orang. Tak sekalipun juga ada yang mengatakan bahwa kesenian
sesat setan. Hal tersebut nampak pada tahapan Kalap. Dalam pandangan islam, ini menjadi salah satu yang sering
kali banyak dipertanyakan oleh orang dimana roh-roh halus dipanggil untuk
ditransfer kedalam tubuh pemain bantengan.
Sebagian yang mempercayai adanya hal seperti itu
namun tidak banyak juga yang tidak mempercayai adanya hal tersebut. Di dalam
alam secara bebas ini terdapat alam ghaib yang dihuni oleh makhuk tak kasat
mata, misalnya saja, Jin atau setan yang pada umumnya keduanya tergolong
makhluk yang durhaka kepada Tuhan. Sebagaimana yang telah dijelaskan kedalam
al-Qur’an dalam surat Al-An’am (6) ayat 100: Manusia dan Jin diciptakan hanya untuk menyembah Allah. Jin dan Manusia
sama sama tidak tau akan hal yang gaib. Namun, manusia diwajibkan untuk
mempercayai adanya hal atau alam ghaib.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa kerjasama antar
jin dan manusia merupakan musyrik, apabila digunkan untuk menyekutukan Allah
(pesugihan, santet dll.)
Didalam kesenian bantengan memang terdapat kerjasama
antara manusia dan jin, namun, hal ini diartikan kerjasama yang bagaimana dulu.
Didalam kesenian ini yang dimaksudkan kerjasama antara manusia dan jin adalah
hanya untuk mengajak ikut bersama-sama dalam memeriahkan permainan bantengan,
itupun juga dengan seizin Allah karena ketika pemanggilan roh juga dimasukkan doa-doa
islami juga.
“Itupun juga ketika dalam rangkaian acara juga
menyelipkan pesan-pesan moral yang islami dan juga kesenian ini bisa dikatakan
sebagai bentuk dakwah yang melalui sebuah kesenian, seperti halnya yang pernah
dilakukan oleh Sunan Kalijaga, beliau mensyi’arkan agama islam melalui kesenian
yakni Wayang.” imbuh Sukrisman
Jadi ketika dilakukan kerjasama antara manusia dan
jin tapi dengan niat ingin menunjukkan kebesaran allah dan memeperlihatkan
bahwasanya adanya alam ghaib itu benar adanya maka hukumnya itu diperbolehkan.
Sementara itu, warga Desa Sukolilo, Kecamatan Jabung,
Malang memaknai Seni Bantengan bukan hanya sekadar pertunjukan seni. Namun ia
juga representasi spiritual, sebagai salah satu cara mereka untuk berkomunikai
dengan Sang Hyang Maha Kuasa (dalam Islam: Allah SWT).
Pak Dikri, salah seorang tokoh masyarakat Desa
Sukolilo, bersama pemuda desa setempat rutin menggelar Seni Bantengan setiap
malam Jum’at legi. Hari tersebut dipilih dikarenakan diyakini merupakan hari
yang pas dalam mengolah spiritual.
“Sebetulnya semua hari sama saja. Namun, ada
hari-hari khusus dimana kita akan lebih mudah untuk mendekat dengan Hyang Maha
Kuasa”, tutur Pak Dikri.
Prosesi mendekatkan diri kepada sang Hyang Maha
Kuasa pada Seni Bantengan ada pada hal-hal yang harus dilakukan sebelum
melakukan Seni Bantengan, yakni diantaranya melakukan Pasa Moteh, yakni aktivitas berpuasa selama tiga hari tiga malam,
saat berbuka hanya makan nasi putih dan air putih lantas dilanjutkan puasa lagi
pada malam harinya.
Hal tersebut mengandung filosofi makna bahwa
pensucian diri dari dosa dan kesalahan yang dianggap sebagai ‘reged’ kotoran dalam tubuh, dengan
berbuka nasi putih dan air putih dan niat serta menjaga tindak laku perbuatan
di dunia.
Selain itu juga melakukan Laku Tirakatan adalah aktivitas untuk tidak tidur semalaman.
Menurut kepercayaan mereka, dengan menjalani Laku tirakatan manusia bisa menjadi lebih waskito (bijaksana). Dengan tirakatan itu pula para seniman
bantengan merasa lebih dekat dengan Hyang Maha Kuasa.
“Pas wayah
dalu kuwi, donyo koyo-koyo ora ono penguripan, sepi mampring, sing ono mung
keheningan. Ngono iku wektu sing paling enak awake dewe dedungo marang Gusti”
(pada malam seperti itu, dunia seperti tak ada kehidupan, sunyi, yang ada hanya
hening. Itulah saat paling tepat bagi kita untuk memohon kepada Yang Maha
Kuasa) ucap Dikri saat menjelaskan suasana tirakatan yang sering dilakukan.
Makna
Hidup Komunal Banteng
Perlu diketahui bahwa sifat kehidupan hewan banteng,
yakni hidup secara berkelompok, sehingga apabila dikaitkan dengan tradisi
kebudayaan Bantengan maka dapat dimaknai sebagai suatu bentuk representative
dari bentuk perilaku masyarakat untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong
royong dan menjunjung tinggi rasa persatuan kesatuan.
Seni bantengan merupakan kesenian dan tradisi
masyarakat yang bersifat komunal, dalam artian setiap pertunjukan melibatkan
banyak orang. Satu contoh perilaku budaya pelaku kesenian bantengan yang
mencolok adalah budaya anjangsana-anjangsini, yaitu budaya balas budi antar
kelompok seni bantengan apabila salah satu diantaranya diundang untuk memainkan
keseniannya di daerah lain.
Layaknya persaudaraan, di lain waktu kelompok seni
bantengan yang ada di suatu daerah akan saling bergantian berkunjung dan
mendatangi kelompok bantengan yang sebelumnya membantu meramaikan sebuah acara
di daerahnya.
Hidup
untuk Mengingat Mati
Dalam setiap pertunjukan Seni Batengan, diiringi
oleh lantunan musik tradisional. Kerap kali lagu yang dipakai dan sering dibuat
iringan adalah lagu kereto jowo
(klayung-klayung). Lagu tersebut mengingatkan kita pada sebuah prosesi
kematian. Bahwa semua manusia pasti pada akhirnya akan mati, kemudian dikubur.
Bahwa setelah kematian itu terjadi sudah tidak ada satupun peluang untuk
melakukan pertobatan atas segala perbuatan di dunia.
Kematian itulah pintu gerbang dari sebuah pengadilan
dari Tuhan, atas segala perbuatan yang telah dilakukan dunia dipertanggung
jawabkan pada pengadilan Tuhan yang tidak membandang bulu, semua manusia
diperlakukan sama tidak memandang jabatan presiden sampai dengan tukang becak,
tidak memandang mana si kaya dan si miskin, hanya takaran amal perbuatan semasa
hidup yang membedakan mereka.
Selain itu, dalam lantunan lagu kreto jowo (klayung-klayung), memberikan pesan bahwa jangan sampai
putus asa untuk mencari ridho Allah dan selalu berdoa. Selalu berusaha
semaksimal mungkin, berharap dan berdoa memohon agar segala dosa yang diperbuat
terlepas dari sengaja atau tidak sengaja dapat di ampuni dan di terima amal perbuatan
kita.
Berikut bait lirik dari lagu Kereto jowo (Kelayung-layung)
Ono
tangis kelayung – layung (ada tangisan yang mendayu dayu)
Tangise
wong kang wedi mati (tangisnya orang yang takut mati)
Gedhongono
kuncenono (simpanlah dan kuncilah)
Yen
wis mati mongso wurungo (bila sudah mati tibalah waktunya)
Ditumpakke
kreta jawa (dinaikkan kereja jawa)
Rodane
roda manungsa (rodanya roda manusia)
Ditutupi
ambyang-ambyang (ditutupi oleh ambyang ambyang)
Disirami
banyune kembang (disirami air bunga)
Duh
gusti Allah (ya Tuhan Allah)
Kulo
nyuwun pangapura (aku minta pengampunan)
Ning sayange wis ra ono guna (tapi sayangnya
sudah tiada guna)___________
Sinergy Aditya Airlangga
Bachelor Public Adminstration - Brawijaya University
Journalist of Nusantara.news Media
+62 | sinergyadityaa@gmail.com
Comments
Post a Comment