JEJAKLANGKAH, UMUM - Membicarakan Sosialisme Indonesia berarti
membicarakan hari depan Revolusi Indonesia. Manifesto Politik RI mengatakan dengan jelas “hari depan Revolusi Indonesia bukanlah menuju ke
kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme… hari depan Revolusi
Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur, atau … Sosialisme Indonesia.”
Perumusan Manipol tentang hari depan revolusi ini
hanya dapat dipahami dengan tepat, bila orang memahami dengan tepat pula apa
itu kapitalisme, apa itu feodalisme, dan apa itu sosialisme. Hal ini perlu saya
tekankan karena sampai sekarang masih terlalu banyak orang yang menyatakan
dirinya “antikapitalisme” dan antifeodal,” tetapi tidak tahu apa sesungguhnya
kapitalisme itu, juga tidak tahu apa sesungguhnya feodalisme itu. Begitupun
terlalu sering masih orang-orang menamakan dirinya “prososialisme” tanpa
mengetahui apa sosialisme yang sebenarnya itu.
Apa akibat dari ketidakjelasan soal-soal ini?
Akibatnya bermacammacam. Ada orang yang menganggap Uni Soviet misalnya
“imperialis,” “imperialis merah,” dan RRT juga “imperialis,” “imperialis
kuning,” padahal Uni Soviet dan RRT adalah jelasjelas negara-negara yang bukan
saja antiimperialis, tetapi sudah sosialis. Sebaliknya ada orang-orang yang
menganggap misalnya Burma itu suatu negeri “sosialis,” hanya karena kaum
sosialis pernah memegang pemerintahan di sana, padahal Burma itu, tidak beda
dengan Indonesia, India dan banyak negeri lainnya, adalah negeri yang belum
merdeka penuh dan masih setengah feodal.
Perkara Burma ini belum seberapa. Ada
malahan orang-orang yang mengira kerajaan Inggris itu negeri “sosialis,” juga
karena yang memerintah di sana pernah Labour Party yang sering disebut sebagai
partai “sosialis” itu. Lelucon ini jadinya tidak lucu lagi!
Pertama, di manalah
di dunia ada kerajaan yang “sosialis”! Jika kerajaankerajaan pada sosialis,
Lenin dulu tak perlu repot-repot memimpin Revolusi 1917, sebab Rusia ketika itu
toh sudah Rusia tsar, Rusia kerajaan … lagipula agak sukar membayangkan bahwa
seorang Elizabeth atau seorang Hirohito atau seorang Juliana bisa “sosialis” …
Nederland juga pernah diperintah oleh Partij van der Arbeid, partai “sosialis.”
Tetapi apakah dengan begitu Nederland jadi sosialis? Adalah pemerintah
“sosialis” Nederland itu yang di tahun 1947 melancarkan perang kolonial
terhadap kita! Seratus limabelas tahun yang lalu Karl Marx dan Friedrich Engels
menerangkan kepada kita supaya berhati-hati dengan sosialisme, sebab, demikian
Marx dan Engels, selain sosialisme proletar, juga ada “sosialisme borjuis
kecil,” “sosialisme borjuis,” bahkan “sosialisme feodal.” Dengan pengalaman
Inggris dan Nederland di atas maka kita harus menambahkan bahwa selain
“sosialisme kerajaan” itu masih ada lagi “sosialisme kolonial”!
Macam lain dari kekisruhan mengenai “sosialisme”
adalah kenyataan bahwa ada orang-orang yang sendirinya seorang kapitalis tetapi
memaklumkan diri ke mana-mana sebagai orang “antikapitalis.” Kalau ditanya,
“Lha saudara ini apa?”, cepat-cepat dia menjawab: “Saya kapitalis
nonkapitalis,” atau malahan, ada yang bengal dengan mengatakan: “Saya kapitalis
marhaen,” “Saya kapitalis murba” atau “Saya kapitalis jelata.” Sungguh
kapitalis jenaka!
Ada kekisruhan macam lain lagi. Bulan yang lalu
pernah saya lihat di Jember sini semboyan yang mengatakan seakan-akan “ciri
khusus landreform Indonesia adalah nonkomunis dan antikapitalis.”
Perkara
“nonkomunis” baiklah saya tidak beri komentar sekarang, karena komentar pun
sebetulnya berkelebihan. Cobalah kita camkan: landreform adalah redistribusi
atau pembagian kembali tanah dengan jalan memberikan milik individual kepada
kaum tani. Inilah landreform yang tepat, dan landreform ini disokong selain
oleh golongan-golongan lain, juga dan barangkali terutama oleh kaum komunis
Indonesia.
Jadi soal non-atau tidak nonkomunis tidak menjadi soal sama sekali.
Sekarang, apakah landreform Indonesia itu benar harus antikapitalis? Dari
persoalan ini jelas bahwa masih ada orang yang tak tahu bedanya kapitalisme
dari feodalisme. Sasaran landreform adalah feodalisme, tuan-tuan, dan bukan
kapitalisme! Tentu bagi kita ada persoalan menghapuiskan sama sekali
konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah, tetapi yang dipersoalkan oleh Undang-undang
Pokok Agraria adalah tanah-tanah kelebihan pada tuan-tuan tanah bumiputera,
tuan-tuan tanah feodal.
Presiden Sukarno menerangkan di dalam “Djarek” bahwa
landreform itu tujuannya “mengahkri pengisapan feodal secara berangsur-angsur.”
Kita lihatlah betapa kisruhnya soal-soal jadinya,
jika pengertianpengertian kapitalisme dan sosialisme tidak jelas.
Ada yang setuju dengan sosialisme ilmiah, ada yang
tidak menyetujuinya. Tetapi kita sudah sekali hidup dalam abad ilmu, abad atom
dan nuklir, sputnik dan kapal ruang angkasa, dan bukan lagi dalam abad takhayul
atau mistik. Kita menyuruh anak-anak kita pergi ke sekolah menuntut ilmu,
tidakkah aneh jika bapakbapaknya menghindari ilmu? Juga pengertian-pengertian
harus ilmiah, termasuk pengertian-pengertian tentang kapitalisme, feodalisme
dan sosialisme.
Untuk menyebarkan ilmu secara populer dan masal inilah saya
kira salah satu tujuan utama UNRA. Benar UNRA bukan suatu institut universiter,
tetapi mutu ilmiah akan tetap dijaga tinggi dalam UNRA dan tujuan mendekatkan
ilmu kepada rakyat atau mendekatkan rakyat kepada ilmu, kiranya adalah suatu
tujuan ilmiah yang serasi dengan denyut nadi jaman. Demikian pun tujuan
meniadakan jurang antara teori dan praktek, terutama teori revolusioner dan
praktek revolusioner.
Apakah Sosialisme Indonesia itu dan bagaimana
harusnya dia kita selenggarakan?
Saya ingin memulai dengan suatu logika yang
sederhana tetapi keras: sosialisme adalah sosialisme. Juga ini bukannya tak ada
gunanya saya tekankan, sebab ada yang mengartikan “Sosialisme Indonesia” itu
hanya dari sudut kekhususan-kekhususan, keistimewaan-keistimewaan,
perlainanperlainan, dan malahan pertentangan-pertentangan dengan
“sosialisme-sosialisme lain.” Pembela-pembela “sosialisme istimewa” ini
biasanya mengatakan: “Sosialisme Indonesia bukan Sosialisme Soviet, bukan
Sosialisme Tiongkok, bukan Sosialisme Kuba.” Saya cuma khawatir jangan-jangan
yang dimaksudkan oleh mereka adalah bahwa Sosialisme Indonesia itu bakan …
sosialisme!
Kekhususan Sosialisme Indonesia tentu saja ada, tetapi
apakah ada kekhususan jika tak ada keumuman? Apakah ada yang khusus jika tak
ada yang umum? Kita ambilkan misal ini: “Simin manusia khusus.” Tetapi setiap
kita tahu bahwa tidak akan ada itu manusia Simin jika tak ada manusia pada
umumnya. Lagipula, sekalipun Simin itu manusia khusus, tetapi dia toh manusia
juga: kepalanya satu, tangannya dua, kakinya dua, melihat bukan dengan telinga
melainkan dengan mata, berpikir bukan dengan punggung melainkan dengan otak,
dsb. Sebab, sekiranya Simin itu berpikir tidak dengan otaknya, saya kira kita
tidak akan berkata “Simin itu manusia khusus,” melainkan Simin itu manusia
abnormal, atau bukan manusia sama sekali!
Oleh sebab itu – sosialisme adalah sosialisme,
Sosialisme Indonesia adalah Sosialisme Indonesia; dia bercorak Indonesia,
tetapi dia sosialisme.
E. Utrech S.H., ketika sebagai sesama anggota Dewan
Pertimbangan Agung bersama-sama saya mengadakan indoktrinasi Manipol ke Nusa
Tenggara, merumuskan soalnya sebagai berikut: “Sosialisme Indonesia adalah
sosialisme yang diindonesiakan, atau Indonesia yang disosialiskan.” Saya kira
perumusan sarjana ini bukan perumusan seorang profesor linglung, melainkan
perumusan yang obyektif benar.
Mari kita kembali kepada Manipol, dan di situ akan
kita jumpai dengan bahasa yang terang, bahwa Sosialisme Indonesia adalah
“sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia,
dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan
psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia.” Kita perhatikanlah: “sosialisme
yang disesuaikan…” dsb., tetapi yang disesuaikan itu adalah tetap sosialisme,
dia harus tetap sosialisme.
Saya ingin mengambil contoh yang lain: apa misalnya
yang kita sebut lukisan Indonesia tentang gunung Himalaya? Saya kira, ini
berarti sebuah lukisan gunung Himalaya yang dikerjakan oleh seorang pelukis
Indonesia, dan yang menggunakan gaya Indonesia, pengolahan Indonesia, visi
Indonesia. Tetapi saya kira seindonesia-indonesianya lukisan Himalaya, dia
tidak boleh menyunglap bentuk Himalaya hingga menjadi seperti gunung Argopuro
atau Raung!
Sosialisme adalah suatu susunan sosial atau sistem
masyarakat yang berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat produksi. Saya
minta perhatian: alat-alat produksi. Jadi, bukan atas meja-kursi, bukubuku, tempat
tidur, sepeda, dan sebagainya. Dalam sosialisme proses produksi berlangsung
secara sosial, demikian pun hasilhasilnya dikenyam secara sosial. Ini berarti
bahwa sosialisme itu bukan kapitalisme yang produksinya berlangsung sosial
(kalau tidak ada kaum buruh yang banyak itu tidak akan ada produksi kapitalis!)
tetapi hasil-hasilnya masuk ke kantong si kapitalis saja, jadi asosial.
Sosialisme tidak boleh disederhanakan menjadi “sama rata sama rasa,” di mana
orang yang bekerja berhak makan dan orang yang tidak bekerja juga berhak makan,
atau di mana si rajin mendapat persis sama dengan si malas. Sebaliknya, dalam
sosialisme hanya yang bekerjalah yang berhak makan, sedang yang tidak bekerja
tidak berhak atas makan.
Begitu pun, si malas tak akan mendapat sebanyak si
rajin. Kian rajin akan kian banyaklah pendapatannya. Seperti dikatakan oleh
Karl Marx: Dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat
menurut prestasi atau hasil kerjanya.” Pendeknya, sosialisme adalah masyarakat
tanpa exploitation de l’homme par l’homme, tanpa pengisapan oleh manusia atas
manusia, seperti berulang-ulang dinyatakan oleh Bung Karno.
Demikianlah sifat-sifat umum yang pokok dari
sosialisme, juga dari Sosialisme Indonesia. Bung Aidit sudah pernah
memperingatkan: janganlah “Sosialisme Indonesia” itu diartikan sosialisme “yang
begitu khususnya,” sehingga kata sifat “Indonesia” menjadi berarti “dengan
pengisapan oleh manusia atas manusia,” sehingga “Sosialisme Indonesia” berarti
“sosialisme dengan pengisapan”! Kalau ada “sosialisme dengan pengisapan,”
pastilah dia bukan sosialisme sama sekali, pastilah dia bukan masyarakat yang
adil dan makmur. Sebab, pengisapan itu bukan keadilan, dan dengan pengisapan
tidak mungkin ada kemakmuran. Maksud saya - kemakmuran buat semua, sebab,
kemakmuran buat si pengisap tentu saja bisa.
Tamu-tamu dari Eropa, yang datang ke Asia dengan
berkunjung dulu ke India, baru ke Indonesia, banyak yang mengatakan kepada
saya: “Indonesia ini saya lihat relatif makmur.” “Makmur bagaimana?”, tanya
saya. Jawabnya: “Dibandingkan dengan India.” Memang, saya sendiri sudah tiga
empat kali ke India.
Orang mati menggeletak di pinggir jalan, yang di sini
hanya terdapat di jaman fasisme Jepang dan yang sesudah Republik merdeka
hampirhampir tak pernah kita jumpai, di India sana masih gejala seharihari. Toh
P.M. Jawaharlal Nehru menamakan India itu suatu “negeri sosialis.” Ketika saya
tanya kepada teman India saya yang baik, Bupesh Gupta, “Sosialisme India itu
sosialisme macam apa,” teman saya itu menjawab, “sosialisme dengan kemiskinan”!
Bahwa “sosialisme” itu tidak selalu sosialisme, dan
bahwa ada macam “sosialisme” yang sesungguhnya bukan sosialisme, juga bisa kita
saksikan dari kejadian-kejadian beberapa waktu yang lalu di dunia Arab.
Presiden Gamal Abdel Nasser, seperti diketahui, secara pandai telah memasukkan
Suriah ke dalam gabungan dengan Mesir, ke dalam “Republik Persatuan Arab.”
Presiden Nasser memaklumkan bahwa RPA adalah negeri “sosialis,” yang berasaskan
“sosialisme á la Arab.”
Beberapa waktu kemudian, setelah rakyat Suriah, mulai
buruhnya sampai burjuasinya, mengalami apa artinya berada di dalam RPA, mereka
memilih kembali jalan menentukan nasib sendiri dengan merenggutkan diri dari
Mesir dan mendirikan kembali Suriah merdeka. Republik Suriah ini kemudian
memaklumkan “sosialisme” juga: “sosialisme sejati.” Nah, kita lihatlah,
“sosialisme” ditentang oleh “sosialisme,” “sosialisme á la Arab” ditentang oleh
“sosialisme sejati.”
Di Indonesia ini ada yang mengira bahwa sosialisme
itu akan terselenggara jika kita melakukan “indonesianisasi.” Ini jugalah
sebetulnya yang dilakukan oleh Mesir. Menurut Ali Sabri, menteri Mesir yang
tugasnya mendampingi presiden, di sana dilakukan apa yang disebutnya
“arabisasi” atau bahkan “mesirisasi.”
Bahwa “indonesianisasi” saja belum berarti
perbaikan, hal ini dapat diterangkan dari dua sudut. Pertama, siapa yang
mengadakan “indonesianisasi” itu; kedua, siapa orang-orang Indonesia yang
ditugaskan menggantikan kedudukan-kedudukan orang-orang asing. Pasal siapa yang
menugaskan, juga siapa yang ditugaskan ini, penting sekali.
Pada suatu hari
diberitahukan kepada anggotaanggota parlemen kita, bahwa pada tanggal sekian
jam sekian akan datang wakil-wakil dari BPM-Shell. Anggota-anggota parlemen
sudah mengasah bahasa Inggrisnya, tahu-tahu yang muncul orang- orang berkulit
sawo matang, bermata hitam, berambut hitam. Inilah “indonesianisasi” oleh
BPM-Shell. Juga apabila yang menugaskan “indonesianisasi” itu pihak Indonesia,
termasuk pemerintah Indonesia, belumlah tentu bahwa yang ditugaskan dalam
“indonesianisasi” itu orang-orang Indonesia yang patriotik dan cakap.
Bukankah
Presiden Sukarno berkali-kali mencanangkan tentang masih adanya orang-orang
“blandis,” orang-orang yang hollands-denken, dan bukankah kita dalam masyarakat
terkadang menjumpai orang-orang yang bahkan merasa “lebih Belanda daripada si
Belanda”? Ya, jika seandainya setiap “indonesianisasi” sudah beres, tentulah
Manipol tidak perlu menggariskan keharusannya retooling, dan tentulah Resopim
tidak perlu menggariskan keharusannya membersihkan segala aparat dari
“pencoleng-pencoleng.”
Sosialisme bukanlah suatu sistem ekonomi semata. Dia
suatu sistem sosial yang menyeluruh. Dia ya sistem ekonomi, ya sistem politik,
ya sistem kultural, ya malahan sistem militer.
Dalam pidatonya 1 Juni 1945, yaitu “Lahirnja Pantja
Sila” yang diucapkan tatkala kaum militer-fasis Jepang masih di Indonesia sini,
Bung Karno–ketika itu belum Presiden RI–antara lain berkata:
“Jikalau kita memang betul-betul mengerti,
mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik … tetapi pun di atas
lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama
yang sebaik-baiknya.”
Dalam pidato itu juga yang sangat saya anjurkan
untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh setiap manipolis, Bung Karno juga
menganjurkan “cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang
berkebudayaan!”
Apakah hakikat sosialisme di lapangan ekonomi, di
lapangan politik kebudayaan?
Prinsip-prinsip sosialisme di lapangan ekonomi sudah
saya bentangkan tadi, sekalipun secara cekak-aos. Bagaimana bisa ada
“sosialisme” yang pemilikan alat-alat produksinya tidak bersifat sosial, sedang
UUD’45 pun menggariskan pada pasal 33-nya: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.”
Kalau dalam UUD’45 sudah demikian, apa pula dalam
sosialisme nanti.
Di lapangan politik sosialisme haruslah berarti
kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam arti yang sesungguh-sungguhnya,
kedaulatan rakyat yang bukan hanya semboyan, tetapi kenyataan. Mayoritas
terbesar rakyat di negeri kita adalah kaum buruh dan kaum tani.
Oleh sebab itu
wajarlah apabila mereka, kaum buruh dan kaum tani itu, yang harus mengurusi
dirinya sendiri dan mengurusi urusan-urusan kenegaraan umumnya. Jika tidak ada
ini, maka pastilah akan terjadi apa yang dikatakan Jean Jaures seperti yang
dikutip oleh Bung Karno dalam pidato “Lahirnja Pantja Sila,” yaitu: “Wakil kaum
buruh yang mempunyai hak politik itu di dalam parlemen dapat menjatuhkan
minister. Ia seperti raja!
Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam
pabrik, – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilemparkan ke
jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa.”
Jika seperti yang dikatakan Jean Jaures dan Bung
Karno ini masih terjadi, itu tandanya masyarakat masih berada dalam susunan
kapitalis, betapapun demokratisnya, dan belum berada dalam susunan sosialis!
Manipol pun sudah menetapkan bahwa “Revolusi Indonesia harus mendirikan
kekuasaan gotong royong, kekuasaan demokratis yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan, yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional,
seluruh kekuatan rakyat.” Dalam mendefinisikan “seluruh kekuatan nasional” ini
Manipol mengatakan: “Seluruh rakyat Indonesia dengan kaum buruh dan kaum tani
sebagai kekuatan pokoknya. Jadi: kekuasaan gotong-royong… yang menjamin
terkonsentrasikannya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat… dengan
kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya.
Argumentasi bagi garis
Manipol ini bahkan sudah diberikan Bung Karno tujuhbelas tahun yang lalu dalam
pidato yang saya tak jemu-jemu menyebutkannya, yaitu “Lahirnja Pantja Sila,”
yang antara lain berbunyi: “Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi
tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang
tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong.’ Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!”
Demikianlah Bung Karno merumuskan cita-citanya.
Tidaklah perlu saya berikan redenasinya, tentulah Sosialisme Indonesia di
lapangan politik sedikitnya harus menjalankan asas Sukarno tentang kenegaraan
ini.
Bagaimana Sosialisme Indonesia di lapangan
kebudayaan?
Ketika pemuda-pemuda revolusioner yang bekerja ilegal di jaman
Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia mendatangi Sutan Sjahrir di
hari-hari Agustus 1945, Sjahrir mengatakan bahwa Indonesia “belum matang” buat
merdeka, bahwa “paling sedikit dibutuhkan lima tahun sampai rakyat Indonesia
bisa merdeka.”
Melihat keadaan yang belum baik sekarang ini, mungkin ada orang
yang akan berkata, “Kalau begitu Sjahrir betul juga – sudah enambelas tahun
lebih kita merdeka, kita belum bisa membereskan ekonomi dan soal-soal lain.”
Pikiran begini adalah pikiran berbahaya sekali! Sebelum kita bicarakan ekonomi
beres atau tidak beres, pertamatama dan di atas segala-galanya harus kita persoalkan:
kalau
Proklamasi 17 Agustus 1945 ditunda apakah sekarang ini akan ada Republik
Indonesia! Saya tak tahu apa akan jadinya Indonesia ini dalam hal begitu,
tetapi kalaupun tidak Jepang atau Belanda menjajah kita kembali, maka
imperialis-imperialis lain seperti Inggris, Amerika, Pernacis, Belgia, Portugal
dan Jerman Barat, kalau tidak salah satu dari mereka menjajah kita, semuanya
menjajah kita bersama-sama.
Sehingga, Indonesia ini merupakan suatu polikoloni,
menjadi ajang penjajahan kolektif oleh kaum imperialis, mungkin langsung,
mungkin pula dengan bendera PBB seperti halnya di Korea Selatan atau Kongo
sekarang. Bung Karno, dalam pidatonya–ijinkanlah saya mengutipnya
lagi–”Lahirnja Pantja Sila” berkata: “Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet
Rusia Merdeka, telah mempunyai Dnieprpetrovsk, dam yang mahabesar di sungai
Dniepr? Apa ia telah mempunyai rediostasion, yang menyundul angkasa? Apa ia
telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka
telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat.
Di seberang
jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan
radiostasion, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche, baru
mengadakan Dnieprpetrovsk! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan
sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa
ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai,
baru kita dapat merdeka… apakah saudara-saudara (sekarang) akan menolak serta
berkata: “Mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru
kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka..?”
“Di dalam Indonesia
Merdeka kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine,
tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghiilangkan penyakit
malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih
pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita
menyehatkan rakyat sebaik-baiknya.”
Demikianlah Bung Karno tujuhbelas tahun yang lalu.
Sekarang, sudah ada plan buat memberantas butahuruf sampai tahun 1964, dan
Manipol pun mengatakan bahwa “kita bergerak tidak karena ‘ideal’ saja, kita bergerak
karena ingin cukup makanan, ingkin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin
cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni dan kultur -
pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala
bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya.”
Dan saya kira Presiden Sukarno tidak salah, bila
beliau berkata kemudian dalam Manipol itu pula bahwa “perbaikan nasib ini
hanyalah bisa datang seratus prosen, bilamana masyarakat sudah tidak ada lagi
kapitalisme dan imperialisme,” jadi, bilamana sudah terselenggara masyarakat
sosialis.
Demikianlah “sosialisme” yang disesuaikan dengan
kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia” itu tidak mungkin berarti
diingkarinya ciri-ciri umum sosialisme, seperti penghapusan pengisapan oleh
manusia atas manusia, perbaikan nasib… 100% dsb.
Mengingkari sifat-sifat khusus
Sosialisme Indonesia berarti bahwa ia bukan sesuatu yang bersifat Indonesia;
mengingkari sifat-sifat umum Sosialisme Indonesia berarti, bahwa ia bukan
sosialisme sama sekali. Kekhususannya harus diintroduksikan, tetapi keumuannya
harus dipertahankan. Beginilah dan hanya beginilah kita bisa berbicara tentang
Sosialisme Indonesia.
Apakah sosialisme sebagai perspektif Revolusi
Indonesia itu terjamin akan tercapai? Ketua CC PKI dan Ketua Dewan Kurator
UNRA, Bung Aidit, menerangkan bahwa perspektif Revolusi Indonesia tak mungkin
lain daripada sosialisme, “karena Revolusi Indonesia pada tingkat sekarang
adalah ditandai oleh kebangunan sosialisme dunia dan kehancuran kapitalisme
dunia.” Ini dinyatakan Bung Aidit dalam bukunya Masjarakat Indonesia dan
Revolusi Indonesia, yang oleh ahli sejarah dan Kepala Arsip Negara, Drs. Moh.
Ali dinamakan suatu buku sejarah modern Indonesia “yang tegas.”
Tentang jaminan
akan tercapainya perspektif revolusi itu, Bung Aidit dalam bukunya tersebut
menunjukkan, bahwa benar revolusi nasional-demokratis akan menyingkirkan
perintangperintang bagi perkembangan kapitalisme, benar kapitalisme nasional
sampai batas-batas tertentu akan berkembang, tetapi ini hanya satu segi dari masalahnya,
sedang segi lainnya adalah bahwa akan ada juga “perkembangan faktor-faktor sosialis seperti
pengaruh politik proletariat yang makin lama makin diakui kaum tani,
intelegensia dan elemen-elemen burjuasi kecil lainnya;
perusahaan perusahaan
negara dan koperasi-koperasi kaum tani, kaum kerajinan tangan, nelayan dan
koperasi-koperasi rakyat pekerja lainnya. Semua ini adalah faktor-faktor
sosialis yang menjadi jaminan bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah
sosialisme dan bukan kapitalisme.”
Bagaimana sekarang menyelenggarakan sebaik-baiknya
Sosialisme Indonesia itu? Dalam “Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta
Berentjana,” yang berarti juga “Djarek” dan “Membangun Dunia Kembali” oleh MPRS
telah disahkan sebagai pedoman pelaksanaan Manipol, Presiden Sukarno dengan
keras mengritik di satu pihak golongan “evolusionis,” karena “teori yang
demikian itu adalah salah,” dan pihak lain golongan “melompat” atau
“fasensprong,” karena “teori yang demikian itu pun tidak benar.” Saya menyokong
kritik terhadap di satu pihak “evolusionisme” dan di pihak lain “fasensprong”
ini, karena yang pertama akan berarti penyelewengan ke kanan, oportunisme kanan
atau reformisme, sedang yang kedua akan berarti penyelewengan ke kiri,
oportunisme kiri atau radikalisme. Baik yang pertama maupun yang kedua akan
membikin perjuangan mandek di jalan, sosialisme tidak tercapai dan revolusi
gagal.
“Evolusionisme” berarti tidak mengganti
sarana-sarana lama dengan sarana-sarana baru, berarti tidak menjebol kekuasaan
lama dan mendirikan yang baru, berarti sumonggo dawuh dan monggo kerso serta
sendiko dalem alias menyerah-isme. Perjuangan harus revolusioner, dan tidak
evolusioner, tidak reformis.
“Fasensprong” berarti melompati apa yang tidak boleh
dilompati, yaitu fase revolusi nasional-demokratis, berarti memimpikan yang
tidak-tidak, berarti antirealis, alias avonturisme. Perjuangan harus obyektif
dan tidak subyektif, tidak acak-acakan atau awur-awuran.
Kita sekarang berada dalam fase revolusi nasional
dan demokratis, artinya, revolusi melawan imperialisme dan melawan feodalisme.
Fase revolusi ini tidak boleh kita takuti, dia harus kita tempuh.
Perincian “Djarek” menegaskan:
“Jelaslah, ada dua tujuan dan dua tahap Revolusi
Indonesia: Pertama, tahap mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari
imperialisme–dan yang demokratis–bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini
masih harus diselesaikan… Kedua, tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme
Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari exploitation de l’homme par
l’homme. Tahap ini hanya bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap
pertama sudah diselesaikan seluruhnya.”
Bisakah dipikirkan perumusan yang lebih gamblang
daripada ini? Baiklah saya bahas tahap pertama, yang di satu pihak tak boleh
ditakuti dan di pihak lain tak boleh dilompati itu. Mengapa sasaran revolusi
kita sekarang imperialisme dan feodalisme? Ini mudah dipahami jika orang suka
mengingat bahwa 20% dari wilayah tercinta kita, yaitu Irian Barat, masih
diduduki kaum imperialis. Juga jika diingat bahwa sebagian penting dari
perekonomian kita, terutama minyak, masih dikuasai oleh kapital imperialis
BPMShell, Stanvac dan Caltex.
Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagi
di Indonesia, tentulah Manipol tidak mengancam “semua modal Belanda, termasuk
yang berada dalam perusahaan-perusahaan campuran, akan habis tamat riwayatnya
sama sekali di bumi Indonesia.” Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada
lagi di Indonesia, tentulah Manipol tidak mengancam modal monopoli asing yang
bukan Belanda akan diperlakukan “sama dengan modal yang asalnya dari negeri
Belanda,” artinya juga dibikin “habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi
Indonesia.”
Antievolusionisme berarti harus melaksanakan
ketentuan Manipol ini. Jika sebaliknya, jika ketentuan-ketentuan Manipol ini
tidak dijalankan dan jika kita tidak membikin habis tamat riwayatnya kapital
imperialisme asing di bumi Indonesia, maka kita sesungguhnya–sadar ataupun tak
sadar–menjalankan evolusionisme, menjalankan reformisme atau oportunisme kanan,
kita sesungguhnya menjadi takut kepada kemenangan revolusi!
Demikian yang mengenai imperialisme. Yang mengenai
feodalisme pun demikian pula. Andaikata feodalisme sudah habis, tentulah tidak
ada perlunya dibikin Undang-undang Bagi Hasil dan Undang-undang Pokok Agraria
atau Undang-undang Landreform.
Ya, andaikata feodalisme sudah habis, tentulah
“Djarek” tidak menegaskan bahwa “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah
sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama
saja dengan omong besar tanpa isi,” tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa
“melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian mutlak dari Revolusi
Indonesia,” dan tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “tanah tidak boleh
menjadi alat pengisapan.” “Djarek” tidak hanya berhenti di sini.
Seakan-akan
khawatir kalau politik landreformnya tidak akan dituruti oleh golongan-golongan
tertentu, maka Presiden Sukarno dalam “Djarek” itu juga menegaskan:
“Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme
Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa
melaksanakan landreform, adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar
Tanah Abang atau di Pasar Senen”!
Jelaslah, bahwa antirevolusionisme harus berarti
setuju dan melaksanakan landreform. Jika tidak setuju, dan tidak menjalankan landreform,
maka disadari atau tidak orang sudah menjalani evolusionisme, reformisme atau
oportunisme kanan, orang sudah takut kepada kemenangan revolusi.
Pendeknya kita harus awas-awas terhadap orang-orang
yang “revolusi yes, landreform no” atau “revolusi okay, menghabisi riwayat
kapitalis imperialis tunggu dulu.” Di Sumatera Utara agak sering terjadi
orang-orang berangkat ke luar negeri, pulang memakai jubah dan kupiah haji,
padahal dia tidak ke Mekkah, cuma ke Singapura… inilah yang di Medan disebut
“lebai Singapura”– mereka lebai-lebai palsu. Begitulah tidak semua orang yang
menyebut dirinya “revolusioner” adalah sesungguhnya revolusioner–ada juga
revolusioner palsu, ada revolusioner gadungan!
Saya sudah menguraikan perkara “evolusionisme” di
dalam praktek. Bagaimana “fasensprong” di dalam praktek?
Fasensprong tidak mau tahu akan revolusi nasional
dan demokratis. Fasensprong mau langsung ke sosialisme, sekalipun syarat-syarat
untuknya belum tersedia. Fasensprong mengobrak-abrik pengusahapengusaha
nasional dan pengusaha-pengusaha kecil, tetapi membiarkan pengusaha-pengusaha
imperialis seperti BPM-Shell, Stanvac, Caltex dan Unilever.
Mereka lebih hebat
daripada “sosialisme dengan kemiskinan” – mereka mau “sosialisme dengan
imperialisme”!
Terhadap masalah tanah, fasensprong tak mau ambil
perduli terhadap perlunya pemilikan perseorangan oleh kaum tani atas tanah:
mereka mau langsung “pengkoperasian pertanian” atau yang tak kalah seringnya,
mereka mau “menasionalisasi tanah-tanah.”
Jelaslah, bahwa fasensprong sebetulnya tak lain
daripada sabotase terhadap revolusi.
Bagaimana hubungannya antara tingkat revolusi yang
pertama dengan tingkat yang kedua? Bung Aidit dalam karyanya Masjarakat
Indonesia dan Revolusi Indonesia menulis bahwa
“Dua tingkat revolusi, yang demokratis dan yang
sosialis (adalah) dua proses revolusioner yang berbeda dalam watak, tetapi yang
satu dengan yang lainnya berhubungan. Tingkat pertama ialah persiapan yang
diperlukan untuk tingkat kedua, dan tingkat kedua tidak mungkin sebelum tingkat
pertama selesai.”
Menyelesaikan “tingkat pertama” bukan hanya berarti
menyelesaikan tugas-tugas ekonominya yang pokok-pokok, terutama terhadap
kapital imperialis dan monopoli tuan tanah atas tanah. Menyelesaikan “tingkat
pertama” harus berarti juga dikerjakannya hal-hal yang mendesak sekali seperti
mempraktekkan dan bukan hanya menyerukan semboyan “merombak ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional.”
Jika penghasilan negara terutama didapat dari
pajak-pajak, langsung maupun tak langsung, jika pajak-pajak yang sudah ada
dinaikkan dan pajak-pajak baru diadakan, dan jika tarif-tarif transpor,
telekomunikasi dsb. dinaikan, juga jika harga minyak, gula, dan lain-lainnya
dinaikkan, dan jika sebaliknya perusahaan-perusahaan negara tidak memberikan
sumbangan yang sepertinya kepada kas negara, apalagi jika karena belum
diberantasnya yang dikatakan Presiden Sukarno dalam Manipol “syaitan korupsi”
dan “syaitan garuk kekayaan hantam kromo” maka semua ini menandakan semboyan
“merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” baru semboyan yang
diserukan dan belum semboyan yang dipraktekkan.
Ketika memasuki tahun ke-2 Manipol, Presiden Sukarno
berkata: “Kita harus dengan lebih tegap melangkah untuk secara konsekuen
melaksanakan Manipol dan dalam tahun ke-2 Manipol Usdek ini kita harus
sungguh-sungguh aanpakken soal retooling ini benarbenar.” Kita sekarang sudah
berada di tahun ke-3 Manipol, tahun batas bagi pelaksaan triprogram kabinet,
bagi kabinet sendiri, bagi keadaan bahaya juga. Jika dalam tahun ke-2 Presiden
Sukarno sudah begitu menekankan mutlaknya melaksanakan secara konsekuen Manipol
dan “aanpakken soal retooling benar-benar,” apalagi sekarang di tahun ke-3
Manipol ini!
Beberapa patah kata tentang Pancasila. Harus jelas
bagi siapa pun, bahwa Pancasila itu sesuatu keutuhan integral yang tidak boleh
direnggut-renggut satu-satu silanya dari sila-sila lainnya, dan bahwa Pancasila
itu alat pemersatu. Jika Pancasila direnggut-renggut, maka bisa nanti atas nama
“Kebangsaan” misalnya orang menentang “Ketuhanan Yang Mahaesa” atau
“Kemerdekaan Beragama” misalnya orang menentang “Kedaulatan Rakyat” atau
“Demokrasi.” Sosialisme di mana pun di dunia menjamin kemerdekaan beragama.
Sosialisme Indonesia tak terkecuali. Sdr. KDH Sudjarwo dengan tepat menganjurkan
“Pancasila secara ilmiah setaraf dengan interpretasi penciptanya,” yaitu Bung
Karno. Memang kalau kita bertolak dari “Lahirnja Pantja Sila,” pidato 1 Juni
1945 Bung Karno yang sudah banyak saya kutip itu, dalam mebicarakan sila
“Ketuhanan Yang Mahaesa” Bung Karno menekankan “hormat-menghormati satu sama
lain,” “yang berkeadaban,” “yang berkebudayaan,” “yang tidak onverdraagzaam,”
dan dengan tegas beliau kemudian berkata: “Segenap agama yang ada di Indonesia
sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya.”
UUD’45 dalam pasal 29
yang mengenai “Ketuhanan Yang Maha esa” menegaskan bahwa “negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.” Dalam “Djarek” Presiden Sukarno
menggasak “hantu kebencian” dan membela “toleransi politik.” Dan dalam
“Membangun Dunia Kembali” atau pidato PBB-nya yang terkenal itu, Presiden
Sukarno menerangkan bahwa sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” dalam Pancasila berarti
“hak untuk percaya,” bukan kewajiban untuk percaya kepada Tuhan, dan berkatalah
Presiden: “Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama:
ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Budha dan ada yang tidak menganut
sesuatu agama.”
Kemudian Presiden menunjukkan bahwa “bahkan mereka yang tidak
percaya kepada Tuhan pun” diliputi oleh “toleransi.” Pernyataan Presiden ini
tepat sekali, karena sesungguhnya “yang tidak menganut sesuatu agama” atau
“yang tidak percaya kepada Tuhan pun” adalah bangsa Indonesia–mereka rakyat
Indonesia. Dan tentulah kita semua belum lupa pada canang yang dipukul Presiden
dalam “Resopim,” bahwa Pancasila adalah alat pemersatu, bahwa Pancasila tidak
boleh dijadikan alat pemecah-belah, dan bahwa barang siapa menjadikan Pancasila
alat pemecah-belah, sesungguhnya dia itu–dalam istilah Presiden Sukarno
sendiri– ”sinting.”
Sampailah saya sekarang pada alat yang terpenting,
yang terbaik, dan yang satu-satunya untuk menyelenggarakan Sosialisme Indonesia
melalui penyelesaian fase pertama, fase revolusi nasionaldemokratis, yaitu
persatuan nasional.
Persatuan nasional ini dengan Nasakom sebagai porosnya,
bukan hanya sesuatu yang sudah resmi dan maka itu harus dituruti mutlak oleh
setiap warganegara dari golongan politik maupun karya, sipil maupun militer,
tetapi dia pun syarat yang tak boleh tidak jika kita mau menyelesaikan
tuntutan-tuntutan Revolusi ’45 dengan perbuatan dan tidak dengan lipservice
atau lamis-lamis bibir saja. Presiden Sukarno mengatakan dalam “Resopim” bahwa
menolak Nasakom berarti bertentangan dengan UUD’45, dan dalam “Djarek” beliau
berpesan, “Bangsa kita harus menggembleng dan menggempurkan persatuan dari
segala kekuatan-kekuatan revolusioner, – menggembleng dan menggempurkan de
samenbundeling van alle revolutionaire krachten in de natie.”
Demikianlah secara pokok-pokok Sosialisme
Indonesia–ilmu dan amalnya: ilmu dan amal pengakhiran pengisapan oleh manusia
atas manusia. Saya anjurkan kepada para siswa UNRA dan para peminat lainnya
yang mau memperdalam soalnya–supaya mempelajari buku Bung Aidit, Sosialisme
Indonesia dan Syarat-syarat Pelaksanaannya.
Penegasan saya sebagai kesimpulan: Tanpa persatuan
nasional dengan kaum buruh dan tani sebagai kekuatan pokoknya dan Nasakom
sebagai porosnya, takkan ada pelaksanaan Manipol secara konsekuen, sedang tanpa
pelaksanaan Manipol secara konsekuen, takkan ada Sosialisme Indonesia.
__________
Kuliah Njoto di depan Universitas Rakyat, Jember, Maret 1962.
Comments
Post a Comment