JEJAKLANGKAH, UMUM - Memaparkan ekonomi sosialis adalah sesuatu yang
sekaligus sukar dan mudah. Sukar, karena ia suatu teori ilmu, tetapi mudah,
karena ia juga suatu praktek, suatu teori yang sudah dipraktekkan. Dan praktek
ini bukan suatu eksperimen, ia suatu pelaksanaan yang ilmiah, dan yang sudah
mencapai hasil-hasil yang stabil.
Hasil ini bukan hanya dicapai di Uni Soviet,
yang luasnya seperenam permukaan bumi, hasil ini juga sedang dicapai di tanah
luas yang membentang dari Berlin sampai ke Hanoi, dari Tirana sampai ke
Pyongyang, yang meliputi hampir semilyar jiwa manusia. Sekarang ini, ekonomi
sosialis bukan hanya dapat dipikirkan dan dibayangkan, ia sudah dapat diraba
dan dirasakan.
Tetapi memaparkan ekonomi sosialis, teori dan
prakteknya, di dalam satu kali ceramah, adalah sesuatu yang hampir-hampir tidak
mungkin. Oleh sebab itu paparan ini tidak akan lebih daripada sekedar
pengantar. Paparan ini, sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh wakil para
mahasiswa kepada saya, akan saya bagi menjadi tiga bagian: sedikit tentang
teori ekonomi sosialis, sedikit tentang praktek ekonomi sosialis, dan hari
depan bagi Indonesia.
Sedikit tentang teori ekonomi sosialis
Pertama-tama perlu diingat bahwa sosialisme itu
bukan suatu ideal yang subyektif. Ia lahir bukan pertama-tama karena disukai
atau diinginkan orang. Ia lahir sebagai resultat yang obyektif dari sejarah
ekonomi kapitalis, disukai atau tidak, diinginkan atau tidak.
Sebagaimana diketahui, yang pertama sekali
menerangkan sifat obyektif sosialisme ini ialah Karl Marx. Tetapi ajaran-ajaran
Marx bukannya jatuh dari langit, ia lahir sebagai kelanjutan yang langsung dari
wakil-wakil terbesar sosialisme klasik Perancis, filsafat klasik Jerman dan
ekonomi klasik Inggris.
Demikianlah, ajaran ekonomi marxisme adalah salah satu
dari tiga bagian yang komponen di dalam marxisme. Ekonomi marxisme–batu
dasarnya ialah ajaran tentang nilai lebih. Tentang teori nilai lebih, yang
dasarnya adalah teori nilai kerja ini, tidak sedikit ekonom-ekonom yang dengan
salah menggambarkan seolah-olah Marxlah penemunya yang pertama-tama.
Cukup jika
kita ingat, bahwa Adam Smith maupun David Ricardo sudah mengemukakan teori
nilai kerja, bahkan juga teori nilai lebih. Marx melanjutkan ajaranajaran
mereka, melanjutkannya secara dialektis dan konsekuen.
Di mana letak perbedaan antara ekonom marxis dengan
kebanyakan ajaran-ajaran ekonomi lainnya? Perbedaannya terutama terletak dalam
kenyataan bahwa sedang kebanyakan ekonomi lainnya melihat hubungan antara
barang dan barang, Marx melihat hubungan antara manusia dan manusia.
Kita semua tahu bahwa ajaran-ajaran Marx tentang
ekonomi politik dijelaskannya di dalam buku standarnya Das Kapital. Marx
sendiri menerangkan bahwa “tujuan akhir karangan ini ialah mengungkapkan hukum
gerak ekonomi dari masyarakat modern,” artinya, masyarakat kapitalis.
Jadi Marx memahami dan mengungkapkan adanya hukum
yang menguasai gerak ekonomi masyarakat. Kesimpulan ini berhasil ditarik
olehnya, karena pandangannya pandangan materialis–yaitu: menanggap segala
sesuatu menurut adanya–dan karena metodenya dalam menyelidiki segala sesuatu
itu metode dialektik. Peluasan materialisme dialektik pada masyarakat dan
sejarahnya itu, yang di dalam literatur modern galib disebut materialisme
historis, dijelaskan oleh Marx di dalam bukunya Kritik atas Ekonomi Politik.
Kapitalisme, yang dasarnya adalah milik perseorangan
atas produksi, berarti akumulasi kapital, dan akumulasi kapital berarti:
akumulasi kekayaan bagi kaum kapitalis dan akumulasi kemelaratan bagi kaum
pekerja. Sebab, akumulasi kapital timbul dari nilai lebih, yaitu tenaga kerja
yang tidak dibayar.
Oleh sebab itu, sebagaimana diterangkan oleh Marx,
tidak ada persamaan kepentingan antara kaum kapitalis dan pekerja, kepentingan
mereka diametral bertentangan. Dan maka itu, sebagaimana kemudian ditegaskannya
pula, melalui perjuangan kelas kaum pekerja harus menghapuskan sistem kerja
upahan, yaitu sistem kapitalisme.
Kapitalisme berarti bahwa produksi bersifat sosial,
sedangkan konsumsi individual, sedangkan sosialisme berarti bahwa produksi
bersifat sosial, tetapi konsumsi bersifat sosial. Satu-satunya jalan yang
memungkinkan hal ini ialah menjadikan alat-alat produksi dari milik
perseorangan menjadi milik masyarakat. Inilah langkah nyata ke arah sosialisme.
Tetapi bagaimana kita dapat merumuskan sosialisme
dengan singkat dan tepat? Saya meminta perhatian bahwa terlalu sering orang
bukannya menjelaskan, melainkan mensimplifikasikannya.
Perumusan-perumusan
seperti “segala sesuatu milik bersama,” atau “sama rata sama rasa,” sama sekali
tidak menggambarkan persoalannya yang sesungguhnya. Marx dan Engels memberikan
perumusan yang sederhana tetapi tepat tentang sosialisme, yaitu: Setiap orang
bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut hasil kerjanya.
Dengan perumusan ini jelaslah perbedaan antara
sosialisme dengan kapitalisme, tetapi juga antara sosialisme dengan komunisme,
sebab komunisme berarti: Setiap orang bekerja menurut kemampuannya, setiap
orang menerima menurut kebutuhannya.
Bahwa perumusan tentang sosialisme tersebut bukannya
sesuatu yang dapat dipraktekkan, tetapi juga sesuatu yang tahan uji, sejarah 37
tahun Uni Soviet menjadi buktinya. Bagaimana sosialisme dilaksanakan di Uni
Soviet, dan bagaimana ia kini diusahakan di negara-negara Demokrasi Rakyat?
Sedikit tentang praktek ekonomi sosialis.
Berdirinya Republik Soviet dimulai dengan penyitaan
milik tuan tanah dan milik kapitalis, memberikan tanah yang sudah
dinasionalisasi untuk dikerjakan oleh kaum tani dan mengeksploitasi
pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan lainnya oleh negara. Kemudian, melalui
Politik Ekonomi Baru, beralih ke pelaksanaan Rencana 5 Tahun yang pertama,
disusul oleh yang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Di lapangan pertanian terjadi
proses kolektivisasi secara besar-besaran, juga proses pembentukan
perusahaan-perusahaan pertanian negara, sedangkan di lapangan industri dilakukan
industrialisasi, yang tentang keluasan maupun kecepatannya, tak ada taranya di
dalam sejarah.
Demikianlah, dari negeri agraris yang terbelakang
sekali, Rusia dan wilayah-wilayah lain yang tergabung di dalam USSR, berubah
menjadi negeri industri kelas satu.
Dalam hubungan ini perlu diingat langkah historis
Lenin, yang melakukan elektrifikasi secara besar-besaran, sehingga sekarang ini
tidak ada satu tempat pun di seluruh Soviet yang tidak berlistrik. Lenin ketika
itu mengajukan perumusan, bahwa komunisme itu ialah: Sistem Soviet plus
elektrifikasi seluruh negeri.
H.G. Wells, historikus dan pengarang Inggris yang
terkenal, sesudah mendengar rencana itu dari mulut Lenin sendiri, sepulangnya
ke Inggris mengatakan: “Lenin–pelamun di Kremlin.” Tetapi sejarah, di mana kita
sekarang hidup, membuktikan bahwa Lenin bukan pelamun, bahwa bukan Lenin yang
pelamun!
Orang boleh setuju ataupun tidak setuju kepada
sistem Soviet, tetapi kenyataan Soviet yang sudah sejak sebelum perang ternyata
ialah, bahwa sistem itu berhasil melenyapkan penyakit sosial yang sudah tua
sekali, yaitu pengangguran, bahwa sistem itu memberi kepada setiap orang
kemungkinan untuk memilih sendiri jabatan yang disukainya, dan kecakapannya.
Basis ekonomi sosialisme ini ternyata berhasil menciptakan kehidupan kebudayaan
dan moral yang baru, bukan hanya tanpa pelacuran, tetapi juga tanpa penyakit-penyakit
sosial yang lain.
Kejadian-kejadian terakhir di lapangan ekonomi di
Uni Soviet yang mempunyai sifat spesifik ialah, pertama, bahwa sesudah
industrialisasi secara besar-besaran pada periode-periode yang lampau, sekarang
ini sambil meneruskan industrialisasi sudah dapat dilakukan peluasan produksi
barang-barang konsumsi, dan kedua, bahwa sejak tahun 1947 pada tiap-tiap tahun
bisa dilakukan penurunan harga-harga barang, sehingga dibandingkan dengan tahun
1940 penghasilan rata-rata kaum pekerja Soviet sekarang menjadi dua kali lipat,
bukan penghasilan nominal, tetapi penghasilan riilnya.
Di dalam pers pengumuman
tentang penurunan-penurunan harga yang sudah tujuh kali itu memang tidak
banyak–bagi pers kapitalis yang negerinya bukannya mengalami penurunan-penurunan
tetapi kenaikan-kenaikan harga, kenyataan itu rupa-rupanya dianggap sangat
tidak menyenangkan! Tetapi siapa yang datang ke Uni Soviet bukannya dengan
purbasangka melainkan dengan hati yang lapang, tentu akan melihat
kemajuan-kemajuan yang terjadi. Prof. Wertheim, yang tentunya bukan seorang
yang asing bagi para mahasiswa, sepulangnya dari Moskow, Tbilisi dan Leningrad
baru-baru ini, di dalam artikelnya yang berkepala Driestedentocht, menamakan
keadaan di sana
“redelijk welvarend, De winkels zijn al stukken
voller dan enkele jaren geleden, de prijzen zijn van jaar tot jaar verlaagd en
de mensen verdringen zich om hun kooplust te bevredigen,” kata beliau.
(Toko-toko sudah jauh lebih penuh daripada beberapa
tahun yang lalu, harga-harga dari tahun ke tahun diturunkan dan orang- orang
berjejal-jejal untuk memenuhi nafsu belinya)
Ketika saya sendiri di Uni Soviet dua tahun yang
lalu, selalu dan di mana-mana saya mendengar dari direktur-direktur pabrik atau
kolchoz, dekan universitas maupun kepala laboratorium, pertanyaan sebagai
berikut: “Jangan saudara lihat yang baik-baik saja, lihat
jugalah yang belum baik, tetapi kami berusaha keras untuk melenyapkan halhal
yang belum baik itu, dan kritik serta saran-saran saudara akan sangat berguna
bagi kami.”
Prof. Wertheim juga dengan jujur menceritakan,
bagaimana jika dibandingkan dengan Nederland harga-harga tekstil di Uni Soviet
masih lebih mahal, tetapi bagaimana transpor, buku-buku, dan sewa rumah “jauh
lebih murah,” sedangkan pertolongan pengobatan gratis seluruhnya.
Saya tidak jarang menjumpai buku-buku tentang
ekonomi yang, meskipun ditulis di tahun 1954, meremehkan kenyataan-kenyataan
Soviet tersebut, dan kadang-kadang bahkan tidak membicarakannya sebaris juga.
Seseorang yang serius di dalam kehidupan ilmu, tentu tidak akan menamakan
buku-buku semacam itu “obyektif.”
Berbicara tentang buku-buku ekonomi, saya teringat
akan seorang ekonom terkenal, yang oleh para mahasiswa pun tentu bukannya tidak
dikenal, yaitu John Maynard Keynes, yang buku utamanya berkepala The General
Theory of Employment, Interest and Money. Keynes menulis di tahun 1925:
“Marxian socialism, must always remain a portent to
the historians of opinion - how doctrine so illogical and so dull can have
exercised so powerful and enduring an influence over the minds of men, and,
through them, the events of history.”
(Sosialisme Marxis, tentu selalu merupakan keanehan
bagi ahli-ahli sejarah berpikir - bagaimana sesuatu ajaran yang begitu tidak
logis dan begitu tumpul bisa hidup begitu kuat dan mempunyai pengaruh atas
pikiran manusia, dan melalui mereka, atas peristiwa-peristiwa sejarah.)
Memang, bagi tidak sedikit orang, sosialisme marxis
itu suatu keanehan, suatu teka teki. Tetapi sebetulnya ia tidak perlu merupakan
teka teki, jika orang tidak bersikap meremehkan terhadapnya. Adalah suatu
kenyataan, bahwa betapa illogical dan betapa dull sekalipun ia dikatakan,
sosialisme mempunyai kekuatan, dan bukan kekuatan yang biasa, melainkan
kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada sebelumnya.
Salah satu keberatan Keynes ialah bahwa sistem
sosialis itu dikatakan “tidak efisien.” Ketua Gosplan (Biro Perancang Negara)
Soviet, Maxim Saburov, ketika memperingati ulang tahun ke-37 Revolusi Oktober
pada 7 November baru-baru ini antara lain menerangkan bahwa tahun ini
produktivitas kerja di dalam industri Soviet naik dengan 7%. Kenaikan yang
sudah sekian puluh kalinya.
Seandainya sistem sosialis tidak punya efisiensi,
bagaimana hal ini akan mungkin? Tetapi kalau dikatakan bahwa efisiensi sosialis
itu bukan orisinal Soviet, itu benar. Dan yang pertama-tama mengakui dan
menerangkan hal ini adalah tidak lain dari Stalin sendiri. Di dalam bukunya
Dasar-dasar Leninisme, ketika menganjurkan gaya kerja leninis, Stalin
memberikan batasan bahwa gaya kerja leninis itu ciri-cirinya ialah semangat
revolusioner Rusia dikombinasikan dengan efisiensi Amerika. Dalam kenyataan ini
juga tersimpul kesediaan kaum komunis, dalam hal ini kaum komunis Soviet, untuk
belajar dari segala hal yang baik, dari mana pun asal-usulnya, dan kelas mana
pun yang melahirkannya.
Dengan penguasaan atas hukum-hukum perkembangan
ekonomi, dan dengan bersenjatakan gaya kerja seperti disebutkan di atas, kaum
komunis Soviet telah berhasil mengembangkan daya kreatif masa pekerja negerinya
sedemikian rupa, sehingga pembangunan sosialisme mencapai sukses. Sosialisme,
yang berarti susunan ekonomi sonder krisis, sonder over produksi, sonder
onderkonsumsi, dan juga sonder defisit di dalam budget.
Perkenankanlah saya mengutip Keynes sekali lagi: “On the economic side,” kata Keynes, “I cannot
perceive that Russian Communism has made any contribution to our economic
problems of intellectual interest or scientific value.” (Di segi ekonomi, saya
tak dapat menganggap bahwa komunisme Rusia telah memberikan sesuatu sumbangan
kepada masalah-masalah ekonomi kita yang bersifat intelektual atau bernilai
ilmu.)
Saya menjadi bertanya: tidak ada sumbangannya kepada
permasalahan intelektual dan ilmu?
Menyatakan demikian sama halnya dengan mengatakan
bahwa sosialisme Soviet itu nol besar. Tetapi kalau ia nol besar, mengapa ia–di
samping begitu disukai–begitu ditakuti sekarang ini?!
Bahwa ajaran Keynes itu reaksioner, hal ini diakui
sendiri oleh salah seorang penganutnya yang setia, Profesor Dudley Dillard,
mahaguru pada University of Maryland, yang mengatakan bahwa ajaran-ajaran
Keynes “dalam hakikinya konservatif dan ditujukan untuk mempertahankan status
quo.”
Keynes memang terang-terangan mempertahankan
kapitalisme, dia hanya mau membuang “segi moralnya” yang diakuinya “tidak
berperikemanusiaan.” Tetapi bagaimana ini mungkin, padahal seluruh kapitalisme,
dari telapak kakinya sampai ke ujung rambutnya, adalah tidak bermoral! Keynes
menolak milik perseorangan atas alat produksi ditiadakan.
Apakah ini semacam
reinkarnasi ajaran Sismondi yang mencegah produksi kecil-kecilan berkembang
menjadi produksi besar-besaran? Tetapi yang demikian itu bertentangan dengan
hukum masyarakat! Sifat revolusioner kapitalisme, sebagaimana ditegaskan oleh
Lenin di dalam bukunya Karakterisasi atas Romantisme Ekonomi, justru terletak
dalam kehebatan kemajuan daya produksi ini, tenaga produktif kapitalisme ini,
pada suatu waktu pasti terbentur pada hubungan produksi yang berlaku, sehingga,
mau tak mau, perombakan masyarakat tentu berlangsung.
Sebelum mengakhiri bagian tentang praktek ekonomi
sosialis di Uni Soviet ini, baiklah saya kitip tulisan Stalin yang terakhir,
yaitu bukunya Masalah-masalah Ekonomi Sosialisme di USSR, yang memberikan
definisi tentang hukum pokok ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis.
Hukum pokok ekonomi kapitalis, diterangkan oleh
Stalin, ialah penjaminan laba maksimal kapitalis dengan jalan pengisapan,
pemerasan dan pemelaratan bagian terbesar rakyat dari negeri bersangkutan,
dengan jalan penjajahan dan perampokan secara teratur terhadap bangsa-bangsa negeri-negeri lain, terutama negerinegeri ang terbelakang, akhirnya dengan
jalan peperangan peperangan dan militerisasi ekonomi, yang dipakai untuk
menyelamatkan laba-laba maksimal.
Sebaliknya, hukum pokok ekonomi sosialis, diterangkan
oleh Stalin, ialah penjaminan dipenuhinya secara maksimal kebutuhan-kebutuhan
material dan kultural yang senantiasa meningkat dari seluruh masyarakat, dengan
jalan pertumbuhan yang terusmenerus dan penyempurnaan terus-menerus dari
produksi sosialis atas dasar teknik-teknik yang lebih tinggi.
Dengan definisi Stalin ini jelaslah apa yang dituju
masyarakat Soviet sekarang, masyarakat yang sedang mengalami peralihan dari
sosialisme ke komunisme.
Sesudah Perang Dunia II yang lalu, di Eropa maupun
di Asia sejumlah negeri membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme dan
menempuh jalan sosialisme. Tetapi perjalanan itu mengambil bentuk yang khusus,
bentuk peralihan, yang sudah lazim disebut Demokrasi Baru atau Demokrasi
Rakyat. Negeri-negeri itu ialah Polandia, Cekoslowakia, Hongaria, Rumania,
Bulgaria, Albania, sebagian dari Jerman, dan di Asia, Tiongkok, Korea dan
Vietnam. Juga di semua negeri ini, krisis-krisis ekonomi sudah menjadi bagian
dari sejarah yang silam, juga di semua negeri ini pengangguran tidak ada lagi,
juga di semua negeri ini anggarananggaran belanjanya menunjukkan aktiva.
Padahal negara-negara baru itu baru berumur 10 tahun, Republik Demokrasi Jerman
dan Republik Rakyat Tiongkok bahkan baru 5 tahun.
Agar lebih dekat dengan persoalan-persoalan kita di
Indonesia, baiklah sebagai contoh saya ambil saja Tiongkok. Negeri ini selama
berabad-abad, kecuali ditindas oleh kaum tuan tanah, juga dikuasai oleh
imperialis-imperialis–beberapa imperialis, dan bukan hanya satu. Keadaan ini
menyebabkan bahwa, berbeda dengan di Rusia sebelum 1917, tidak semua burjuasi
Tiongkok reaksioner. Bahkan, kecuali burjuasi komprador, boleh dibilang seluruh
burjuasi nasional Tiongkok, apalagi burjuasi kecilnya, ditindas oleh
imperialisme asing, dan oleh sebab itu berkepentingan untuk bersama-sama dengan
kaum buruh dan kaum tani melawan imperialisme asing. Dengan demikian perjuangan
kelas di Tiongkok bersifat perjuangan nasional. Kekuatan anti-imperialis ini,
sebagaimana diterangkan oleh Mao Ze-dong, terdiri dari empat kelas, yaitu kaum
buruh, kaum tani, burjuasi kecil dan burjuasi nasional. Sebagai basisnya ialah,
kelas buruh dan kaum tani yang bersekutu bersama-sama melawan feodalisme.
Jadi, perbedaan antara Revolusi Rusia dan Revolusi
Tiongkok ialah bahwa yang pertama langsung menuju ke sosialisme, sedangkan yang
belakangan menuju ke ekonomi nasional, ekonomi demokrasi rakyat. Di Tiongkok
sekarang perusahaan-perusahaan kapitapis asing yang bukan Amerika, dan bukan
Kuomintang, jadi misalnya Inggris, Portugis, dan lain-lain, terus
diperkenankan. Apalagi kaum kapitalis nasional! Dan mereka yang sudah pernah ke
Tiongkok, termasuk Presiden Universitas Indonesia, Prof. Bahder Djohan, tentu mengetahui
bahwa perusahaan-perusahaan kapitalis nasional itu tidak hanya tetap hidup,
tetapi hidup dengan lebih terjamin, baik mengenai pasar maupun mengenai
labanya. Bagi mereka yang belum tahu, mungkin hal ini kedengaran aneh, tetapi -
itulah Demokrasi Rakyat!
Ini tidak berarti, bahwa di Tiongkok sekarang hanya
ada ekonomi kapitalis saja. Tidak! Di sana ada beberapa sektor ekonomi,
termasuk sektor ekonomi koperatif dan bahkan sektor sosialis, antara lain
industri berat di Tungpei, dulu Manchuria. Kalau bagi kaum kapitalis nasional
Demokrasi Rakyat itu begitu menguntungkan, apalagi bagi kaum buruh! Bagi kaum
tani, rasanya saya tak perlu menerangkan dengan panjang lebar tentang apa
artinya perubahan agraria yang meliputi beberapa ratus juta kaum tani. Bagi kaum
tani, kemerdekaan itu pertama-tama berarti tanah.
Pesatnya kemajuan ekonomi Demokrasi Rakyat Tiongkok
antara lain terbukti dari produksi tenaga listriknya yang tahun ini mencapai
angka 10.800.000.000 jam kilowat - 2,5 kali tahun 1949, batubara 81.990.000 ton
- 2,6 kali 1949, baja 2.170.000 ton - 13,7 kali 1949, semen 4.730.000 ton - 7,2
kali 1949 dsb., dsb. Angka-angka ini diambil dari laporan Pemerintah RRT yang
diucapkan oleh PM Chou En-lai pada 23 September 1954 yang lalu.
Produksi
pertanian pun, berkat perubahan agraria, meningkat cepat. Sebagaimana kita
sekalian maklum, Tiongkok dari negeri kelaparan pengimpor beras, sekarang
menjadi negeri tidak kelaparan pengekspor beras! Kalau di tahun 1950 pajak yang
dibayar kaum tani merupakan 29,6% tahun ini sudah turun menjadi 13,4% sehingga,
berkat segala usaha itu, dibandingkan dengan tahun 1950 daya beli kaum tani
meningkat 76%. Bagaimana pengaruhnya semua ini di lapangan kebudayaan, dapat
dilihat dari jumlah mahasiswa yang belajar: di tahun 1949 - 276.000 orang,
sekarang - 2.588.000 orang, hampir 10 kali lipat dalam masa 5 tahun!
Kiranya cukuplah sudah gambaran singkat yang saya
berikan mengenai RRT sebagai salah satu contoh Demokrasi Rakyat. Sampailah saya pada persoalan kita sendiri,
persoalan Indonesia.
Hari Depan Indonesia
Tidak ada seorang pun di tanah air kita ini yang
tidak mengetahui bahwa negeri kita dicengkam oleh krisis ekonomi yang berat.
Ini diketahui oleh buruh maupun pedagang, mahasiswa maupun seniman. Ini
diketahui oleh PKI, diketahui pemerintah, diketahui oposisi. Hanya pandangan
mengenai dan jalan keluar untuk krisis itu yang menunjukkan perbedaan-perbedaan
pendapat.
Bagaimana menurut PKI ekonomi sosialis akan
dilaksanakan di Indonesia?
Oleh Kongres Nasional ke-V PKI bulan Maret 1954 yang
lalu, disimpulkan, bahwa yang wajib kita tuju di Indonesia sekarang bukanlah
sosialisme, melainkan Demokrasi Rakyat.
Kemarin dulu, hal ini ditegaskan sekali oleh Bung
Aidit di dalam jawabannya atas interviuw Tillman Durdin, koresponden New York
Times. Atas pertanyaan “Sistem apakah yang diperjuangkan oleh Partai Komunis
untuk Indonesia pada tingkat kemajuan negeri sekarang?”, Bung Aidit
menjelaskan:
“Dalam tingkat kemajuan ekonomi Indonesia seperti
sekarang, yaitu ekonomi semi-feodal dan semi-kolonial, PKI memperjuangkan suatu
sistem yang akan menghapuskan sisasisa feodalisme dan kolonialisme di
Indonesia. Sistem ini kami namakan sistem demokrasi rakyat.”
Sekarang timbullah persoalan: apakah Demokrasi
Rakyat Indonesia akan sama dengan Demokrasi Rakyat Tiongkok?
Jawabnya bisa saya nyatakan: sama dan tidak sama.
Sama bahwa kedua-duanya anti-imperialis dan anti-feodal, sama bahwa
kedua-duanya akan menciptakan kekuasaan koalisi beberapa kelas, sama bahwa
kedua-duanya akan membangun ekonomi nasional. Tetapi tidak sama karena Tiongkok
dan Indonesia tidak sama. Tiongkok dulu terutama dijajah oleh imperialisme
Amerika yang dikatakan “demokratis,” sedangkan Indonesia dijajah oleh
imperialisme Belanda yang terkenal berjiwa tukang-warung.
Sistem tuan tanah di
Tiongkok dan di Indonesia pun berlain-lainan. Di Tiongkok berlangsung
perjuangan bersenjata terus-menerus yang kurang lebih 40 tahun lamanya, di sini
tidak. Belum lagi saya sebutkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, adat-istiadat,
dan lainlain, antara kedua negeri tersebut.
Oleh sebab itu kalau ada seseorang yang menamakan
dirinya komunis tetapi mau menyelesaikan masalah Indonesia dengan main jiplak
saja, entah menjiplak Uni Soviet atau menjiplak Tiongkok, maka dia itu lebih
menyerupai Pak Tolol daripada komunis. Perjuangan komunisme tidak bisa
diselesaikan oleh dan maka itu tidak membutuhkan plagiator-plagiator yang tidak
berfikir.
Masalah Indonesia hanya dapat dipecahkan dengan jalan Indonesia,
dengan cara Indonesia, dengan gaya Indonesia. Inilah sebabnya Bung Aidit di dalam
Kongres PKI yang lalu memberikan laporan yang menunjukkan Jalan ke Demokrasi
Rakyat bagi Indonesia. Demokrasi rakyat yang spesifik Indonesia! Inilah yang
kita tuju.
Demikianlah, kalau yang mengira kaum komunis itu
main menjiplak saja bukan seorang yang menamakan dirinya komunis, tetapi
seorang yang antikomunis, maka “kritik” itu sendiri menandakan ketiadaan
berpikir. Ini tidaklah mengherankan, karena biasanya “kritikus” itu sendiri
yang plagiator.
Tetapi mungkinkah krisis ekonomi Indonesia yang
sudah dalam ini diatasi? Mungkinkah keadaan yang kacau sekarang ini diatasi?
Mungkinkah demokrasi rakyat didirikan di Indonesia?
Hanya saja, bagi Indonesia, sosialisme itu akan
melalui demokrasi rakyat, harus melalui demokrasi rakyat. Ini bukan disebabkan
oleh alasan-alasan subyektif, ini dibawa oleh watak dan keadaan kongkrit negeri
kita.
Di dalam Program PKI terdapat bagian yang
menjelaskan perlunya mencapai kemerdekaan nasional yang penuh dan
perubahanperubahan demokratis.
Bab ini dimulai dengan kalimat-kalimat sebagai
berikut:
“Pemerintah Demokrasi Rakyat akan merupakan suatu
pemerintah yang sama sekali baru jika dibandingkan dengan semua
pemerintah-pemerintah yang ada sebelumnya.
“Ia akan merupakan suatu pemerintah yang mendasarkan
dirinya atas masa.
“Ia akan merupakan suatu pemerintah yang tujuannya
ialah kemerdekaan nasional yang penuh.
“Ia akan merupakan suatu pemerintah front persatuan
nasional, yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh dan kaum tani di
bawah pimpinan kelas buruh.
Mengingat terbelakangnya ekonomi negeri kita, PKI
berpendapat bahwa pemerintah ini harus tidak merupakan pemerintah diktatur
proletariat melainkan pemerintah diktatur rakyat.
Pemerintah ini bukannya harus
melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan demokratis. Ia
akan merupakan suatu pemerintah yang mampu mempersatukan semua tenaga
antifeodal dan antiimperialis, yang mampu memberikan tanah dengan cumacuma
kepada kaum tani, yang mampu menjamin hak-hak demokrasi bagi rakyat; suatu
pemerintah yang mampu membela industri dan perdagangan nasional terhadap
persaingan asing, yang mampu meninggikan tingkat hidup material kaum buruh dan
menghapuskan pengangguran.
Dengan singkatnya ia akan merupakan suatu pemerintah
rakyat yang mampu menjamin kemerdekaan nasional serta perkembangannya melalui
demokrasi dan kemajuan.” Demikianlah–dengan sederhana dan saya kira cukup
jelas– dinyatakan di dalam Program PKI apa yang dimaksudkan dengan Pemerintah
Demokrasi Rakyat di Indonesia.
Selanjutnya untuk mencapai kemerdekaan nasional, program
tersebut menekankan pentingnya membatalkan persetujuan KMB dan menyita serta
menasionalisasi semua pabrik, bank, perkebunan, alat-alat pengangkutan,
tambang, maskapai-maskapai dagang dan perusahaan-perusahaan lainnya kepunyaan
kaum penjajah Belanda.
Kemudian di lapangan hubungan agraria dan pertanian
Pemerintah Demokrasi Rakyat akan melakukan penyitaan semua tanah tuan tanah,
asing maupun bumiputera, dan membagi-bagikannya dengan cuma-cuma dan sebagai
milik perseorangan kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah
dan kaum tani miskin.
Pemerintah Demokrasi Rakyat tidak akan menyita tanahtanah
kaum tani kaya dan akan melindungi tanah-tanah kaum tani sedang. Pemerintah
Demokrasi Rakyat akan menghapus rodi, pologoro dan perbudakan-perbudakan feodal
lainnya, menghapuskan utang-utang kaum tani, nelayan dan tukang-tukang
kerajinan tangan kepada tuan tanah dan lintah darat, sebaliknya akan memberikan
kredit panjang yang gampang dan murah kepada mereka, membantu kaum tani
memperbaiki dan memperbaharui sistem irigasi dan menyelenggarakan dengan
berangsur-angsur pemindahan sukarela sebagian penduduk dari pulau-pulau yang
padat penduduknya (terutama pulau Jawa) ke pulau-pulau lainnya dengan jaminan
tanah, alat-alat bekerja, alat-alat kesehatan dan kredit yang cukup.
Di lapangan industri dan perburuhan, Pemerintah
Demokrasi Rakyat akan melindungi industri nasional terhadap persaingan
barang-barang asing, mengadakan sistem cukai yang bersifat melindungi,
mengembangkan industri nasional dan mempersiapkan syarat-syarat untuk
industrialisasi negeri dengan menggunakan semua tenaga dan sumber-sumber
negara.
Selanjutnya akan menetapkan upah minimum yang menjamin penghidupan yang
berperikemanusiaan bagi kaum buruh dan pegawai, mengadakan kerja enam jam sehari
untuk kaum buruh tambang di bawah tanah dan industri-industri lain yang
mengganggu kesehatan, mengadakan liburan sekurang-kurangnya 14 hari setahun
dengan upah penuh, mengadakan jaminanjaminan sosial lainnya atas biaya negara
dan kaum kapitalis, menjamin upah sama untuk pekerjaan sama bagi kaum wanita,
melarang pekerjaan yang mengganggu kesehatan untuk wanita dan anak-anak,
menjamin perkembangan bebas bagi serikat-serikat buruh, dan mengadakan kontrol
keras atas harga-harga barang.
Program ini kiranya tak memerlukan penjelasan lagi. Tetapi agar tak terjadi salah tafsir, perkenankanlah saya menjelaskan sedikit
lagi tentang dua hal. Pertama tentang penyitaan tanah, dan kedua tentang
penyitaan perusahaan-perusahaan kapitalis milik Belanda.
Sistem tuan tanah atas tanah bukan hanya suatu
anakronisme, ia juga sangat tidak adil. Berjuta-juta kaum tani yang membasahi
tanah itu dengan keringatnya, tidak memilikinya dan dengan demikian tak
mengennyam hasilnya, sedangkan sejumlah kecil tuan tanah, yang sama sekali
tidak bekerja mengolah tanah-tanah itu, justru yang memilikinya dan menerima
hasilnya.
Dilihat dari sudut humanisme, hal ini sama sekali tidak adil untuk
diteruskan, ia tidak berprikemanusiaan, sedangkan dilihat dari sudut
produktivitas, sistem tuan tanah itu mengekang tenaga kerja di desa yang
sungguh tidak terhitung kerugiannya.
Kecuali semua ini, perubahan agraria,
yaitu pemindahan milik tanah dari tangan tuan tanah ke tangan kaum tani, adalah
perlu sekali untuk sendi industrialisasi negeri. Dengan tidak mempunyai tanah
atau mempunyai tanah yang kurang sekali, kaum tani rendah sekali daya belinya,
dan dengan kaum tani–artinya 70% dari rakyat jelata kita–yang rendah sekali
daya belinya, industrialisasi tidak akan lebih daripada fraseologi yang tidak
berisi.
Mengenai penyitaan perusahaan-perusahaan kapitalis
milik Belanda, ini pun tidak bisa lain, baik dilihat dari sudut keadilan maupun
dilihat dari kebutuhan negara untuk melaksanakan ekonomi yang berencana,
memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, mengontrol harga, dan lain-lain.
Tentang yang pertama, mungkin orang bertanya:
mengapa PKI menghendaki milik individu atas tanah?
Bukankah ini mengingkari
prinsip sosialisme, prinsip kolektivisasi pertanian? PKI berpendapat bahwa
milik perseorangan atas tanah adalah satu-satunya jalan yang tepat, pertama
karena inilah yang dikehendaki oleh kaum tani, dan kedua karena kolektivisasi
pertanian itu harus dilakukan atas dasar sukarela. Pengalaman di Uni Soviet
maupun di Tiongkok menunjukkan, bahwa kesukarelaan adalah satu-satunya dasar
yang digunakan dalam mengkolektivisasikan pertanian.
Nantinya, kaum tani kita yang mendapat tanah sebagai
milik individual, akan menyadari sendiri dari pengalaman mereka sendiri, bahwa
sistem kolektif itu lebih efisien, lebih produktif, lebih efektif, dan maka itu
lebih menguntungkan bagi mereka. Kewajiban negara ialah menyediakan bantuan
yang cukup untuk kolektivisasi nanti, antara lain alat-alat pertanian yang
modern.
Tentang yang kedua, mungkin orang bertanya: mengapa
perusahaan-perusahaan Belanda saja yang disita?
Jawabnya sederhana saja: karena Belanda lah,
imperialisme Belanda lah musuh kita nomor satu. Sedangkan mengenai
perusahaanperusahaan besar, termasuk maskapai-maskapai minyak, kepunyaan negeri
lain (artinya lain daripada Belanda), sebagaimana juga ditanyakan oleh wartawan
Tillman Durdin dan dijawab oleh Bung Aidit kemarin dulu: hanya akan disita dan
dinasionalisasikan jika negeri-negeri tersebut memberi bantuan senjata kepada
Belanda untuk melawan Republik Indonesia.
Demikian dengan singkat sudah saya bentangkan jalan
Indonesia menuju ke Demokrasi Rakyat.
Sistem ini tidak akan memungkinkan lagi adanya
jurang antara rencana dan kenyataan, sehingga–seperti selama ini–kertas-kertas
berbagai rencana tidak pernah mencapai lebih daripada kertas. Sistem ini akan
menjamin bahwa rencana-rencana yang kita bikin secara obyektif, akan dapat kita
laksanakan di dalam praktek. Planplan Lima Tahun Soviet misalnya, terkenal
bukan saja karena planplan itu bisa dilaksanakan, tetapi dilaksanakan di dalam
waktu yang lebih singkat.
Dari uraian di atas ini juga menjadi jelaslah, bahwa
sistem ekonomi Demokrasi Rakyat akan mengubah sama sekali perletakan titik
berat. Selama ini, ekonomi kita yang agraris ini terutama didasarkan atas
ekonomi ekspor, atas penjualan hasil-hasil bumi kita ke pasar dunia, yang
begitu tergantung dari konjungtur-konjungtur dan gelombang lain di
dalamperdagangan dunia. Titik berat seterusnya harus diletakkan pada home
market, pada pasar dalam negeri. Baik RRT maupun negara-negara Demokrasi Rakyat
di Eropa Timur umumnya, mencapai sukses di dalam pembangunan ekonominya dan di
dalam memajukan negerinya, karena politik ekonomi mereka didasarkan atas home
market.
Bahwa politik ini tidak hanya baik tetapi juga praktis, sudah terbukti
sekarang, dan kebaikannya pun sudah terbukti dari kenyataan bahwa sesudah
kebutuhankebutuhan pokok rakyat negeri sendiri mulai dipenuhi, tugas
internasional, yaitu memajukan perdagangan dengan negeri mana pun, atas dasar
persamaan dan saling menguntungkan, juga bisa dipenuhi.
Akhirnya, saya tak mau lalai untuk meminta perhatian
tentang besarnya peranan kaum intelegensia di dalam pembangunan ekonomi
nasional, ekonomi Demokrasi Rakyat ini.
Memang ada orang-orang radikalis yang mengira
seakan-akan pembangunan Demokrasi Rakyat itu bisa dilakukan oleh kaum buruh
saja, dan menganggap bahwa kaum intelektual tidak usah turut-turut, sebab
mereka itu toh borjuis. Orang-orang radikalis begini ini bukan komunis, ia
lebih menyerupai Don Kisot yang tak tahu ke mana kincir angin berputar. Adalah
Lenin sendiri, yang lebih dari 30 tahun yang lalu menegaskan, bahwa sosialisme
itu tidak hanya bisa dibangun dengan orang-orang yang sesungguhnya ada, ada di
dalam masyarakat, jadi termasuk kaum inteligensia.
Bahkan, dengan ini dapat saya terangkan keyakinan
kaum komunis: Demokrasi Rakyat, apalagi sosialisme, tidak bisa dibangun dengan
tidak ikut sertanya kaum intelegensia. Ikut serta mereka bukan hanya berguna,
tetapi sine qua non. Itulah sebabnya mengapa PKI, di dalam menggalang persatuan
nasional tidak pernah melupakan, bahkan menaruhkan minat yang sangat besar,
kepada ikut sertanya golongan intelegensia.
Singkatnya, Demokrasi Rakyat bagi Indonesia adalah
mungkin, dan menjadi kewajiban kita bersamalah untuk mengubahnya dari kemungkinan
menjadi keharusan, dari cita-cita menjadi kenyataan.
__________
Kuliah Njoto di depan mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 12 Desember 1954
Comments
Post a Comment