JEJAKLANGKAH, UMUM - Jika ditanyakan “Apa filsafat proletariat itu,”
biasanya cepat kita menerima jawab: “Dialektika.” Terlalu sering filsafat
filsafat ini disebut tidak menurut namanya yang lengkap, materialisme dialektik
dan historis, melainkan “dialektika” saja.
Dan kalau ditanyakan kemudian “Apa
dialektika itu,” biasanya kita pun cepat menerima jawab: “Tesis, anti-tesis,
sintesis” atau “Segala sesuatu menurut keadaan, tempat dan waktu.” Tetapi apa
arti yang sebenarnya dari semua itu, bagaimana dasar-dasarnya, bagaimana
keterangannya dan bagaimana keharusan penerapan atau pengenaannya, jarang
sekali kita dengar, dan kalaupun ada kita mendengarnya belum tentu keterangan
itu benar.
Sukar sekali, jika tak hendak dikatakan tak mungkin,
untuk memberikan introduksi tentang filsafat materialisme dialektik dan
historis dalam satu kali kuliah. Tetapi saya yakin, bahwa kian hari akan kian
banyak propagandis filsafat proletariat di Indonesia sini, karena hanya dengan
populernya filsafat pembaruan itulah usaha pembaruan masyarakat Indonesia
dipermudah.
Saya kira liwatlah sudah masa ketika materialisme
dialektik dan historis ibarat “tamu baru yang belum banyak punya kenalan” di
masyarakat Indonesia. Materialisme dialektik dan historis kini sudah menjadi
warga negara Indonesia yang bukan saja sudah umum diakui keabsahannya, tetapi
makin hari makin diterima kepemimpinannya, karena metodenya yang revolusioner,
karena pandangannya yang jauh ke muka, dan karena petunjukpetunjuknya yang
selalu dibenarkan oleh jalannya sejarah.
Bahwa ada kelompok-kelompok penduduk yang tidak mau
mengakui hak hidup “warga negara” tersebut dan bahkan tak mau menegur-sapa, ini
lumrah, sama lumrahnya seperti di antara penduduk sesuatu kampung ada
orang-orang sombong yang tak mau kenal tetangga-tetangga dan tak mau kenal
kepala RT maupun RK.
Ada ketikanya yang universitas-universitas bukan
saja tidak mengajarkan marxisme, bahkan menyebut marxisme sajapun enggan.
Saya pribadi tidak bersedih hati jika marxisme
diperseteru oleh profesor-profesor tertentu; saya akan sangat bersedih hati
seandainya marxisme diperseteru oleh rakyat pekerja. Tetapi sama sekali tidak
demikianlah halnya!
Ketika masih muda belia, yaitu ketika berusia 32
tahun, Bung Karno menulis tentang marxisme, bahwa “walaupun teori-teorinya sangat
sukar dan berat bagi kaum pandai, maka amat gampanglah teorinya itu dimengerti
oleh kaum yang tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat-kepandaian yang
berkeluh-kesah itu.”
Tidakkah kedengarannya seperti Janggal: “sangat
sukar dan berat bagi kaum pandai-pandai” tapi “amat gampang dimengerti oleh
kaum yang tertindas dan sengsara?” Yang janggal bukanlah marxisme, yang janggal
juga bukan kesimpulan Bung Karno tersebut–yang janggal kiranya ialah
mereka-mereka yang tidak mau mengerti semua ini!
Bung Aidit pernah ditanya pendapatnya, bagaimana
jika marxisme diajarkan di universitas-universitas. Jawab Bung Aidit: “Lebih
baik jangan, kecuali jika yang mengajarnya orang-orang marxis sendiri."
Marxisme, seingat saya, bukannya belum pernah
diajarkan di universitas-universitas di Indonesia. Ketika ada guru besar
Belanda, Prof. Beerling namanya, marxisme ada diajarkan juga, sekalipun tak
sampai sepersepuluh dari pelajaran tentang eksistensialisme. Jumlah ini bukan
yang terpenting–yang terpenting ialah bagaimana marxisme itu diajarkan! Saya
tahu bahwa ada mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti kuliah-kuliah Prof. Beerling
karena sungguhsungguh ingin mengenal apa marxisme itu sebenarnya.
Kasihan
mahasiswa-mahasiswa yang jujur itu, karena mempelajari marxisme dari seorang
Beerling mengingatkan saya kepada yang pernah dikatakan filsuf Turki yang
terkenal, Al Farabi, yang hidup kurang lebih antara tahun-tahun 870 dan 950
Masehi, yaitu: “Seorang orang ingin melihat punggungnya pada cermin: jika dia
taruhkan cermin di depan matanya dia gagal melihat punggungnya; jika dia
taruhkan si cermin di depan punggungnya, itupun tak bisa dilihatnya.”
Saya ingin memperingatkan: pendeknya, kalau mau
belajar bercocok tanam, belajarlah dari kaum tani, jangan dari tukang batu!
Di Amerika, warga-warga negaranya tidak usah banyak
berpikir. Redaktur-redaktur dan terutama penulis-penulis pocketbooks sudah
“berpikir buat pembaca-pembacanya”… Dalam bibliotek saya misalnya, di antara
kurang lebih tujuhpuluh buku filsafat yang saya punyai, terdapat pula buku-buku
filsafat keluaran Amerika, antara lain Philosophy made easy (Filsafat dibikin
gampang) dan Philosophy for pleasure (Filsafat buat senang).
Ada lagi
Philosophy – an outline – history with questions and answers (Filsafat-sejarah
garis besarnya dengan tanya jawab), karangan Prof. John Bentley, yang setelah
saya baca dari depan ke belakang dari belakang ke depan, sepatah kata pun tak
menerangkan Marx atau marxisme. Tetapi sudahlah, mungkin profesor itu merasa
hina untuk menyebut Marx… tapi apa yang ditulisnya misalnya mengenai Sokrates?
Pada halaman 9 buku itu ditulis bahwa Sokrates “mukanya buruk, pakaiannya
serampangan”…
Maka itu tak usahlah kita tercengang jika murud-murid Amerika
itu, seperti Harian Abadi almarhum, mengira Bung Aidit “orang Malaya, bukan
orang Indonesia” atau seperti seorang diplomat membilang R.A. Kartini “seorang
penyanyi ulung”…
Ada satu segi yang sangat menarik perhatian dari
kehidupan Amerika–mereka itu praktis. Kantor-kantor mereka praktis, perdagangan
mereka praktis, dapur mereka praktis. Suasana serba praktis inilah yang pada
umumnya menuntun usaha-usaha teoretisasi mereka, sehingga saya kira tidaklah
saya melebihlebihkan jika saya mengatakan bahwa apa yang begitu dipuja oleh
Nietsche, yaitu “kedangkalan,” kini menguasai kehidupan ilmiah di Amerika
Serikat.
Menurut Drew Pearson dan Jack Anderson, tertinggalnya Amerika Serikat
oleh Uni Soviet di bidang ilmu sebabnya adalah: sedang Uni Soviet sibuk dengan
“ruang angkasa,” Amerika Serikat sibuk dengan “ruang parkir.” Ini bukannya
tak ada hubungannya dengan filsafat, karena seperti kita semua tahu, di Jakarta
sini ada tuan-tuan besar dan nyonya-nyonya besar yang berpandangan: “biar tak
punya rumah, asal punya mobil.” Kalau saudara-saudara bertanya apa filsafat
itu, pandangan tuan-tuan besar dan nyonya-nyonya besar ini salah satu contoh
pernyataan filsafat.
Filsafat hidup proletariat dibandingkan dengan
filsafat hidup burjuasi memang sangat bertentangan. Proletariat tahu hahwa
tanpa kebebasan buat semua, tidak adalah kebebasan buat diri orang-seorang.
Sebaliknya, burjuasi beranggapan bahwa jika dirinya tidak bebas maka kebebasan
itu sendiri tidak ada. Filsafat hidup ini dinyatakan dalam sikap mereka dalam
perjuangan.
Perjuangan proletariat adalah untuk mencapai kebebasan buat semua,
dan jika buat cita-cita ini dirinya sendiri harus berkorban sampai pun
berkorban jiwa, kaum proletar menempuhnya dengan ikhlas. Sebaliknya, burjuasi
“berjuang” buat kebebasan diri sendiri, tetapi untuk kebebasan diri sendiri ini
janganlah korban jiwa, korban harta benda pun mereka liat, alot.
Sebagai
tambahan, ada baiknya saya sebutkan di sini bahwa si borjuis yang begitu
mementingkan dirinya sendiri itu, biasanya berumur pendek dan matinya sering
dikarenakan sakit jantung atau tekanan darah tinggi, sedang si proletar yang
begitu tak mementingkan diri sendiri, jarang tertimpa penyakit yang aneh-aneh
dan kalaupun mati biasanya mati karena kerja berat dan penderitaan akibat
tindasan kapitalisme.
Kerja si proletar memang selalu kerja berat, tapi hal ini
ada untungnya–si proletar bekerja badan sehingga badannya terlatih, berkembang
dan sehat, sesuatu yang harus diirii oleh si borjuis!
Terhadap filsafat proletar si borjuis suka
melemparkan kritik tentang “tidak adanya kebebasan individu.” Tapi apa yang dimaksudkan
dengan “kebebasan individu” sebenarnya? Seperti dikatakan Marx dan Engels dalam
Manifes Partai Komunis, “manusia idaman” burjuasi itu adalah “manusia yang
hanya terdapat di dalam dunia gelap khayalan filsafat saja”dan tidak
terdapat dalam kenyataan. Betapa tidak! Apakah si borjuis sendiri bebas?
Sarapan pun mereka sudah tergantung dari kokinya!
Cita-cita proletariat adalah suatu masyarakat yang
bebas, bukan saja bebas dari imperialisme dan feodalisme, tetapi pun bebas dari
setiap pengisapan oleh manusia atas manusia, sehingga individu seorang-seorang
akan bebas pula, dan pada gilirannya “perkembangan bebas dari setiap orang
menjadi syarat bagi perkembangan bebas dari semuanya.”
Bukanlah maksud saya untuk menggunakan kesempatan
ini untuk suatu uraian teoritis tentang apa dasar-dasar dan hukum-hukum
materialisme dialektik dan historis. Saya sudah sangat gembira jika saya tidak
gagal mengemukakan pendapat-pendapat saya tentang kedudukan filsafat
proletariat dalam kehidupan sosio-politik di Indonesia dewasa ini serta peranan
yang sedang dan akan dimainkannya dalam perjuangan pembaruan masyarakat
Indonesia, dengan di sana-sini memberikan ilustrasi-ilustrasi yang membuktikan
obyektifnya dalil-dalil filsafat marxis.
Seperti diketahui, materialisme adalah konsepsi
filsafat marxis, sedang dialektika adalah metode-nya.
Tentang materialisme ingin saya mengingatkan para
hadirin kepada keterangan Lenin bahwa materialisme itu “mengandung di dalam
dirinya sikap berpihak.” Lenin menambahkan bahwa “filsafat dewasa ini sama
berpihaknya seperti filsafat 2000 tahun yang lalu.”
Hal ini sebenarnya terang
benderang seperti matahari: adakah di jaman perbudakan filsafat yang tidak
memihak pawang budak dan tidak memihak kaum budak, adakah di jaman feodalisme
filsafat yang tidak memihak tuan-tuan feodal dan tidak memihak kaum tani,
adakah di jaman kapitalisme filasfat yang tidak memihak burjuasi dan tidak
memihak proletariat, adakah di Indonesia sekarang misalnya filsafat yang tidak
memihak imperialisme dan tidak memihak rakyat, tidak memihak feodalisme, tidak
memihak demokrasi, tidak memihak kapitalisme, tidak memihak sosialisme?
Saya kira “filsafat nonkelas” demikian itu, kalau
ada, seperti yang pernah dikatakan Lenin tentang “politik nonkelas,”
betul-betul patut dimasukkan ke dalam kurungan dan dipertontonkan di samping
kanguru Australia."
Dan apakah dialektik itu? Filsuf demokrat
revolusioner Alexander Herzen pernah mengatakannya dengan baik sekali:
“Dialektika adalah aljabarnya revolusi.”9) Sesungguhnya, seseorang akan kebingungan
dan tersesat di dalam revolusi, jika dia tak kenal dialektika.
Dialektika
“bukan hanya suatu teori ilmiah, tetapi juga suatu metode pengenalan dan
pedoman untuk aksi. Pengetahuan tentang hukum umum perkembangan memungkinkan
untuk menganilisis masa silam, untuk memahami secara tepat apa yang sedang
berlaku di masa kini dan untuk melihat masa depan. Maka itu dialektika adalah
suatu metode pendekatan untuk penyelidikan dan untuk aksi-aksi praktis
berdasarkan hasil-hasil penyelidikan itu.”
Banyak kritik ditujukan terhadap filsafat marxis,
tetapi sangat sedikit kritik-kritik yang beralasan.
Ambillah misalnya kritik-kritik terhadap marxisme,
yang dilantunkan orang dalam sidang-sidang Konstituante beberapa tahun yang
lalu.
Terlebih dulu saya meminta perhatian para hadirin, bahwa ketika itu yang
diperdebatkan adalah bukan marxisme, melainkan antara Islam dan Pancasila,
sehingga, oleh karenanya, kritik-kritik terhadap marxisme di tengah-tengah
perdebatan mengenai Islam dan Pancasila itu lebih bersifat menyukarkan daripada
memudahkan penyelesaian, dan maka dari itu kritik-kritik itu umumnya bersifat
politik, dan bukan filsafat.
Apa kritik-kritik itu? “Penghapusan keluarga,”
“hak bersama atas kaum wanita,” “penghapusan agama dan moral,” “penghapusan
kemerdekaan individu” dan sebangsanya – satu per satunya kritik-kritik tua
yang sudah lebih dari satu abad umurnya dan yang satu per satunya sudah dijawab
dengan gamblang oleh Marx dan Engels, pendiripendiri sosialisme ilmiah, dalam
karya utama mereka Manifes Partai Komunis.
Kaum komunis terus terang saja kagum
akan pengritik-pengritik yang selama lebih satu abad tidak bosan-bosannya
memamah biak rumput tua itu! Yang mengenai kaum komunis sendiri, kaum komunis
tidak punya “keuletan” memamah biak seperti itu, dan maka itu bersikap
meremehkan saja “kritik-kritik” tak beralasan itu, sebab, “kritik-kritik” itu
lebih radikal disapu oleh peristiwa-peristiwa sejarah daripada oleh agitprop
[agitasipropaganda, ed.] kaum marxis. Yang memang perlu-perlu, seperti “alasan-alasan”
Moh. Isa Anshary, Moh. Natsir dan Kasman Singodimedjo, telah kami jawab
seperlunya.
Kita ambillah “kritik-kritik” yang lain. “Lembaga
Kader” Katolik belum lama ini menerbitkan sebuah brosur kecil, Masjarakat Baru
namanya, yang adalah Ikhtisar Quadragesimo Anno. Sekalipun Ensiklik Paus itu
sudah tigapuluh tahun yang lalu disiarkan, tetapi penyiaran ikhtisarnya dalam
bahasa Indonesia justru saat-saat sekarang, sesudah Manipol, sangat menarik
perhatian.
Dalam brosur kecil itu ditulis antara lain: “Sangat sedih memandang
kelalaian orang yang membiarkan sistem komunis disiarkan di mana-mana.”
Alangkah banyaknya orang yang “lalai” itu – di seluruh dunia sudah lebih dari
satu milyar orang dan di Indonesia saja lebih dari delapan juta pemilih palu
arit haruslah digolongkan pada kaum yang “lalai” itu. Saya katakan sangat
menarik perhatian penyiarannya justru sesudah Manipol ini, karena Manipol
seperti kita semua maklum, mengharuskan “konsentrasi semua kekuatan nasional,”
dan bersamaan waktu mengharuskan pencegahan “perpecahan nasional.”
Lebih-lebih lagi, berdasarkan Manipol itu dan dengan kekuatan Penpres 7,
satu-satunya partai marxis di Indonesia, yaitu Partai Komunis Indonesia, telah
diakui sebagai partai yang sah, dan ini berarti bahwa partai tersebut bersama
partai-partai demokratis lainnya, seperti dijamin di dalam “Djarek” dijamin
“hak hidup, hak bergerak, hak perwakilan”-nya.
“Kritik” lain lagi adalah dalam nada keluhan,
begini: “Apa boleh buat, PKI sudah diakui sah, karena PKI menerima Pancasila;
sekarang PKI harus membuktikan dengan jalan menjalankan sila keTuhanan Yang
Mahaesa.” Pengritik-pengritik itu rupanya tak punya kesempatan mendengarkan
keterangan Ketua PKI Bung Aidit, yang sesudah menyatakan bahwa “tiap-tiap sila
dari Pancasila, dilihat dari sudut agama (sila keTuhanan Yang Mahaesa), dilihat
dari sudut patriotisme (sila kebangsaan), dilihat dari sudut humanisme (sila
kemanusiaan), dilihat dari cita-cita politik (sila kedaulatan rakyat) dan
dilihat dari cita-cita sosial (sila keadilan sosial), adalah dianut oleh
mayoritas dari rakyat Indonesia,” mengatakan bahwa “kaum komunis yakin bahwa
sikap ini (sikap menerima Pancasila) bukan hanya tidak bertentangan dengan
marxisme, tetapi inilah sikap marxis yang tepat.”
Kaum komunis tentu saja bersedia
dan sudah menjalankan sila “keTuhanan Yang Mahaesa,” yaitu sesuai dengan
“Lahirnya Pancasila,” dengan “cara yang berkeadaban,” yaitu “hormat-menghormati
satu sama lain,”16) dan sesuai dengan “Membangun Dunia Kembali” mengakui pada
orang lain “hak untuk percaya kepada Yang Mahakuasa” … “Bahkan mereka yang
tidak percaya kepada Tuan pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan,”
mengakui hak tersebut.
Sekali lagi, kaum komunis tentu saja bersedia dan
sudah menjalankan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa,” tetapi kita semua, baik
golongan politik, Nasakom, maupun golongan karya, sipil dan militernya, harus
pula bersamaan waktunya menjalankan keempat-empat sila lainnya, yaitu
“kebangsaan” atau “patriotisme,” “perikemanusiaan,” atau “internasionalisme,”
“kedaulatan rakyat” atau “demokrasi,” dan “keadilan sosial” atau “penghapusan
eksploitasi oleh manusia atas manusia.” Sehubungan dengan inilah jika di tahun
1957 Bung Aidit menegaskan bahwa “melarang PKI berarti menentang empat sila
dari Pancasila.”
Akhirnya, “kritik-kritik” seperti yang suka
dilancarkan oleh Moh. Hatta, St. Sjahrir dan sebangsanya, yang menamakan
marxisme itu “usang,” karena alasan yang sederhana bahwa marxisme lahir kurang
lebih setengah abad sebelum pentolan-pentolan itu lahir. Sungguh hebat “alasan”
ini, karena Marx dan Engels “usang,” sedang Machiavelli atau Nietsche “tidak
usang!”
Baiklah saya tambahkan, bahwa yang memimpin pelaksaan Plan 7 Tahun
besar-besaran di Uni Soviet sekarang, yaitu Nikita Khruschov, dan yang memimpin
revolusi yang gilang gemilang di Tiongkok, yaitu Mao Ze-dong, adalah
penganut-penganut filsafat marxisme, dan bukan penganut “sosialisme kerakyatan”
ataupun “kapitalisme kerakyatan” yang sungguh tak banyak bedanya itu… Kalau
filsafat mereka usang, buat apa tuan-tuan begitu kebingungan menghadapi mereka
dan buat apa tidak mengabaikan saja mereka? Atau silakanlah mengabaikan dua
juta komunis Indonesia, karena mereka ini toh hanya penganut-penganut filsafat
yang “usang”…
Kemarin saya membaca kawat dari Washington, bahwa senat
Amerika Serikat telah menyetujui permintaan Presiden Kennedy akan otorisasi
sebanyak 1.784.300.000 dolar untuk tahun depan untuk “mengejar Soviet Rusia…
dalam usaha-usaha seperti kapal ruang angkasa dengan manusia, satelit-satelit
komunikasi dan mengusahakan peluncuran-peluncuran ke bulan, termasuk
kemungkinan mendarat dan kembali.”19) Suatu ambisi yang tidak bisa dikatakan
kecil, bahkan menimbulkan kekaguman. Tetapi apakah “mengejar Soviet Rusia” itu
akan terjadi?
Mengingat filsafat yang umumnya dianut oleh
sarjana-sarjana roket Amerika Serikat dan mengingat sistem sosial yang berlaku
di Amerika dewasa ini, maka saya lebih cenderung untuk meramalkan, bahwa
tercecernya AS dari USSR dalam hal peroketan bukannya akan kian lama kian
sedikit, melainkan kian lama akan kian jauh.
Kenapa? Karena percobaan-percobaan
Soviet selama ini bukan hanya telah menghimpun sejumlah banyak bahan tentang
susunan dan sifat tata suryanya kita, tetapi–dan ini yang terpenting–karena
kerjasama sarjana-sarjana dan kaum buruh dan golongan-golongan rakyat lain di
Uni Soviet itu menyelidiki lebih lanjut secara seksama bahan-bahan itu dengan
pisau analisis filsafat materialisme dialektik dan historis. Ini memungkinkan
mereka untuk mengenal hakikat materi secara lebih mendalam dan senantiasa lebih
mendalam.
Yang saya maksudkan dengan “pisau analisis” filsafat
proletariat adalah metode dialektikanya, dan sekali berbicara tentang ini ada
baiknya kalau saya bandingkan serba sedikit metode ini dengan metode yang lain
yang nondialektik.
Hamka misalnya, filsuf Islam yang menulis
cepat-cepat dan banyakbanyak itu, sekali menulis bahwa suatu garis pararel atau
garis sejajar “selama-lamanya tak akan bertemu.” Ini adalah logika formal.
Sebab apakah dapat dipertahankan dalil bahwa garis pararel “selama-lamanya tak
akan bertemu”? Sampai batas tertentu ya, tetapi lebih jauh dari batas itu dalil
itu harus diritul. Sebab, sesuatu garus pararel bisa merupakan sebagian saja
dari dua garis lengkung atau dua lingkaran, sehingga kedua-dua garis itu bukan
saja tidak “tak akan” bertemu, melainkan bisa dan pasti akan bertemu.
Ketika masih hidup, Masjumi cabang Malang
mengeluarkan brosur kampanye pemilihan umum. Dalam brosur itu dikemukakan
semboyan yang meminta kepercayaan pemilih kepada Masjumi, dengan mengatakan
bahwa “kalau Masjumi berkata ya maksudnya ya, kalau tidak maksudnya tidak.”
Semboyan yang gagah inipun tidaklah lebih daripada logika formal. Sebab
sesungguhnya, setiap “ya” harus sekaligus “tidak” dan setiap “tidak” harus
sekaligus “ya.” Mari saya ambil misal yang sederhana. Apakah saudara mau
kemerdekaan? Ya! Apakah saudara mau penjajahan? Tidak! Entah kalau buat Masjumi
almarhum itu “kemerdekaan ya penjajahan ya”…
Demikianlah, buat dialektika adalah sangat penting
untuk bertanya pada setiap hal “untuk siapa.” Misalnya, pada suatu hari kita
diberi tahu bahwa “situasi politik baik.” Kita harus segera bertanya: baik buat
siapa–buat rakyat atau buat musuh-musuh rakyat? Begitupun kalau misalnya ada
orang berkata: “production share itu menguntungkan.” Baiknya kita buru-buru
bertanya: menguntungkan buat siapa–buat Indonesia atau buat si kapitalis asing?
Untuk menerangkannya secara lain: segala sesuatu
punya dua segi. Hal yang baik tentu ada tidak baiknya, hal yang tidak baik
tentu ada baiknya. Dalam buku ABC Politik diberikan misal begini:
“Revolusi Agustus mengalami kegagalan. Tentu hal ini
negatif. Tetapi segi positifnya juga ada. Justru karena kita mengalami
kegagalan Revolusi Agustus, maka menjadi tahu bagaimana harusnya memimpin
revolusi – apa-apa yang boleh dikerjakan dan apa-apa yang tidak boleh
dikerjakan. Kita jadinya tahu teori revolusi.”
Pendeknya, metode dialektik sama sekali tak bisa
dipersatukan dengan metode berat sebelah, metode melihat segala sesuatu dari
satu segi saja, metode dialektik yang melihat segala sesuatu dalam
saling-hubungannya sama sekali tak bisa dipersatukan dengan metode melihat
segala sesuatu sepotong-sepotong dan berdiri sendiri; metode dialektik yang
melihat segala sesuatu dalam geraknya, dalam perubahan dan perkembangannya,
sama sekali tak bisa dipersatukan dengan metode melihat segala sesuatu dalam
kemandekannya, dalam ketetapannya, dalam kelanggengannya.
Chernishevski pernah menulis dalam Hubungan estetik
seni dengan realitas, begini:
“Kita katakan: ‘Orang Rus ini berbicara bahasa
Perancis lebih baik daripada orang Perancis,’ sekalipun kita tidak berpikiran
untuk membandingkannya dengan orang-orang Perancis sesungguhnya, tapi
membandingkannya hanya dengan orangorang Rus lainnya yang mencoba berbicara
bahasa Perancis. Ia memang jauh lebih baik bahasa Perancisnya daripada mereka
itu, namun juga jauh lebih buruk daripada orang-orang Perancis. Hal ini
diterima sebagai hal yang wajar oleh setiap orang yang tahu persoalannya,
tetapi banyak orang bisa tersesat oleh kalimat yang berlebih-lebihan.”
Cara mempersoalkan masalah ini benar sekali. Marx
dan Engels menulis dalam Manifes Partai Komunis: “Obrolan tentang penjualan dan pembelian bebas ini,
dan segala ‘kata-kata gagah’ lainnya dari burjuasi mengenai kemerdekaan pada
umumnya, mempunyai arti, jika ada, hanya jika dibandingkan dengan penjualan dan
pembelian terbatas, dengan pedagang-pedagang terbelenggu dari Jaman
Pertengahan, tetapi tidak mempunyai arti jika dipertentangkan dengan
penghapusan secara komunis atas penjualan dan pembelian, atas syarat-syarat
produksi borjuis, dan atas burjuasi itu sendiri.”
Prof. Bernal menerangkan dengan bersahaja: “Jika sebuah atom hanya bisa berpaut dengan satu
atom lainnya, hasilnya adalah gas. Jika ia berpaut dengan dua atau tiga,
hasilnya adalah zat padat yang berserat… Jika dengan empat, zat padat kristal
yang keras seperti berlian. Jika dengan lebih dari empat, logam.”
Atau ambillah contoh yang barangkali lebih terang:
kita kenal tablet yang bernama “obat tidur.” Dalam kuantitas atau jumlah satu
atau dua tablet, obat tidur itu obat tidur, tetapi dalam kuantitas sepuluh
tablet misalnya, obat tidur berubah kualitasnya, sifatnya, menjadi “obat
mampus.”
Kualitas seseorang dalam kehidupan umumnya,
perjuangan khususnya, suka kita sebut dengan sebutan-sebutan “penakut,”
“pemberani” dan “serampangan.” Adakah dia hubungannya dengan sesuatu kuantitas?
Ini pun terang, sebab, yang mengambil kuantitas risiko terlalu sedikit, dialah
pengecut; yang mengambil risiko yang memadai, dialah pemberani; dan yang
mengambil risiko terlalu banyak, dialah serampangan.
Ketua PKT Mao Ze-dong dalam Pilihan Tulisan-nya
jilid IV menulis: “Setiap kualitas menyatakan dirinya dalam kuantitas
tertentu, dan tanpa kuantitas tak mungkin ada kualitas. Hingga sekarang banyak
di antara kawan kita belum juga mengerti bahwa mereka harus memperhatikan segi
kuantitatif dari hal ikhwal… Dalam semua gerakan masa kita harus melakukan
penyelidikan dan analisis pokok tentang jumlah penyokong aktif, laman dan kaum
netral dan tidak boleh memutuskan soal-soal secara subyektif dan tanpa
dasar.”
Di tahun 1948 Moh. Hatta berpikiran “PKI bisa
dihancurkan” dan dia pun bertindaklah. Ketika itu jumlah kaum komunis Indonesia
kurang dari sepuluh ribu. Sekarang–siapa tahu!– mungkin Hatta masih berpikiran
“PKI bisa dihancurkan.”
Cuma, kiranya tak ada jeleknya kalau tuan Hatta
mengingat, bahwa kuantitatif PKI sudah lain. Jumlah barisannya sekarang hampir
dua juta. Kalau misalnya tuan Hatta berpendapat, sesuai dengan filsafat
idealisnya, bahwa kuantitas itu tak ada sangkut pautnya dengan kualitas,
sehingga dua juta komunis dan sepuluh ribu komunis “sama saja,” terserah… kami
akui hak tuan untuk berpikir dan bertindak bebas, dengan syarat, bahwa tuan pun
hendaknya mengakui hak kami untuk berpikir dan bertindak bebas.
Adalah pula pemahaman tentang hukum “perubahan
kuantitas ke kualitas” yang menyebabkan Marx dan Engels menulis bahwa
proletariat “tidak saja bertambah jumlahnya… kekuatannya bertambah besar dan ia
semakin merasakan kekuatan itu”26) dan Lenin “Kemenangan akan datang pada kaum
yang tertindas, karena dengan merekalah kehidupan, kekuatan jumlah, kekuatan
masa.”
Sedikit tentang hukum “negasi dari negasi.” Istilah
“negasi” ini, yang mula-mula dipakai Hegel untuk melukiskan digantikannya
sesuatu bentuk keadaan oleh yang lain, oleh lawannya, kemudian dipakai oleh
Marx dan Engels, dengan diberi arti materialis. Kata Marx, dalam lapangan
apapun “tak ada perkembangan yang tidak menegasi bentuk keadaan yang
mendahuluinya.”
Kalau kita ambil sejarah umat manusia sebagai misal,
nyatalah bahwa pemilikan bersama di masyarakat primitif telah ditiadakan,
dinegasi oleh lawannya, yaitu pemilikan perseorangan, dan bahwa kemudian, dalam
masyarakat sosialis, sebagai “negasi dari negasi” itu muncul kembali pemilikan
bersama, tetapi dalam bentuk dan tingkat serta mutu yang lebih tinggi.
Begitupun kalau kita ambil sejarah Indonesia sebagai misal.
Tadinya Indonesia
ini merdeka, kemudian kemerdekaan itu ditiadakan, dinegasi oleh lawannya, yaitu
penjajahan, dan sebagai “negasi dari negasi” itu muncul kembali kemerdekaan,
tetapi dalam bentuk, tingkat serta mutu yang lebih tinggi. Perlu diingat bahwa
tidak ada negasi yang penghabisan!
Lenin pernah memperingatkan, jangan kita “berdiri di
ambang pintu materialisme dialektik, dan berhenti–sebelum materialisme
historis.”
Materialisme historis, seperti diketahui, adalah
penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam sejarah manusia.
Sebelum Marx, materialisme yang integral, harmonis
dan konsekuen itu, kaum materialis dari abad yang lalu umumnya menjadi naif
dalam hal yang mengenai sejarah manusia.
Seperti halnya Hegel, Marx memandang sejarah manusia
sebagai suatu proses yang menuruti hukum-hukum perkembangan dan tidak
tergantung dari kemauan manusia; seperti halnya Hegel, Marx memandang segala
gejala dalam timbul dan tenggelamnya, dalam kelahiran dan kelenyapannya;
seperti halnya Hegel, Marx mengusahakan dan menemukan sumber tunggal dari
segala aksi dan interaksi kekuatan-kekuatan sosial.
Tetapi Hegel
menganggap sumber tunggal itu suatu “jiwa universal,” Marx tahu bahwa dia itu
tak lain daripada rakyat, rakyat pekerja. Marx menunjukkan bahwa bukan kemauan
manusia, melainkan perkembangan tenaga-tenaga produktif materiillah yang
menentukan jalannya sejarah. Inilah kesimpulan terpenting dari meterialisme
historis.
Untuk kembali kepada Herzen, mengapa dia menamakan
dialektika itu “aljabarnya revolusi”? Karena hanya dengan dialektikalah,
dialektika materialisme sudah tentu, seseorang, sesuatu golongan atau sesuatu
kelas dapat memegang kemudi di tengah-tengah gelombang revolusi yang
menggebu-gebu memecahmecah memukul-mukul dan dengan pandangan yang jernih serta
tangan yang teguh memegang kemudi itu ke arah yang benar.
Saya tidak berbicara tentang musuh-musuh revolusi,
yang pikirannya begitu statis, begitu kolot, begitu tak tahu jaman, sehingga
misalnya sesudah Revolusi Agustus pun masih berani berkolaborasi dengan
imperialisme Belanda. Seandainya komprador-komprador itu sedikit saja tahu
hukum sejarah– lihatlah, saya menuntut terlalu banyak dari kompradorkomprador!–
niscayalah mereka, kalaupun jiwanya berpihak imperialisme, tidak akan melakukan
kolaborasinya terang-terangan seperti kita semua maklum, pada awal semua
revolusi selalu terdiri dari beberapa nilai kemanusiaan dan keadilan.
“Garis-garis besar haluan negara” yaitu Manipol RI,
yang merumuskan “persoalan-persoalan pokok Revolusi Indonesia,” yaitu kewajiban
Revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan sosialnya, sifatnya, hari depannya serta
musuh-musuhnya, adalah hasil dari “pergosokan perlainan pendapat” itulah.
Sesuatu “sistem filsafat” tertentu tidaklah lain
daripada “pernyataan intelektual dari jamannya,” kata Plechanov, sekalipun
bisa juga pernyataan dari aspek-aspek tertentu saja dari sesuatu jaman. Kalau
Pancasila digolongkan suatu “sistem filsafat” dia pun jadinya “pernyataan
intelektual” dari jaman kita sekarang atau dari aspekaspek tertentu dari jaman
kita.
Maka itu mudah menimbulkan pertanyaan bahwa ada
seseorang ataupun sesuatu golongan yang menamakan dirinya “Pancasilais,”
tetapi–sekalipun autor Pancasila sendiri secara autentik menyatakan “kalau
Pancasila tulen harus setuju Nasakom”–bersitegang leher menolak dan menentang
Nasakom. Penilaian terhadap mereka itu bisa diberikan dari sudut Pancasila
sendiri, tak usah dari sudut materialisme dialektik dan historis. Satu fakta
yang sekalipun pahit harus kita catat adalah, bahwa di antara
pendukung-pendukung Pancasila terdapat kekuatan yang maju, kekuatan yang
bimbang, tetapi juga kekuatan yang kolot, sekalipun “kolot modern.”
Dalam pers luar negeri, terutama pers kuning,
macam-macam julukan yang diberikan kepada PKI. Ada yang menamakan PKI “maestro
besar dalam taktik,” ada yang menamakannya “Botwinniknya politik,” tetapi
baiklah saya bukakan suatu rahasia, yaitu ketidak-luar-biasaan PKI: PKI
bukannya terdiri dari dewadewa dari dongengan, PKI terdiri dari manusia-manusia
biasa, hanya saja yang ber-filsafat materialisme dialektik dan historis, yang
kenal dan mengenakan “aljabar revolusi.”
Prof. Bertrand Russell, yang berpendapat bahwa
ajaran-ajaran Marx “berisi elemen-elemen kebenaran yang sangat penting” dan
yang “telah mempengaruhi pandangan-pandangan saya sendiri tentang perkembangan
filsafat,”34) mengritik Marx, yang kata beliau, “ditinjau semata-mata sebagai
filsuf” adalah “terlalu praktis, terlalu banyak terlibat dalam masalah-masalah
jamannya.”
Suatu metode yang tidak bisa dipertahankan dari
Bertrand Russell ialah, bahwa dia meninjau Marx “semata-mata sebagai filsuf.”
Di sinilah perbedaannya, ya, pertentangannya yang seperti bumi dan langit
antara Marx dan filsuf-filsuf borjuis, sebelum maupun sesudah Marx. Filsafat
Marx bukan hanya menerangkan dunia, tetapi merombak dunia. Dan Marx sendiri
bukan seorang “sematamata filsuf,” dia tidak mungkin seorang “semata-mata
filsuf.” Marx adalah filsuf, ekonom, historikus, politikus, ya, ahli strategi,
revolusioner.
Marx “terlalu praktis”? Asal Bertrand Russell ingat
saja, bahwa terlalu banyak filsuf–entahlah apakah Bertrand Russell sendiri
termasuk–yang terlalu tidak praktis, terlalu mengawang-awang, terlalu kabur,
terlalu bertele-tele, terlalu tak ada gunanya.
Marx “terlalu banyak terlibat dalam masalah-masalah
jamannya”? Memang, ada filsafat yang hanya membicarakan jaman sebelum Masehi,
ada filsafat yang hanya membicarakan akhirat, ada filsafat ang terutama
membicarakan jaman kini, jadi bersifat kontemporer atau kekinian. Marxisme,
filsafat proletariat, tergolong yang terakhir ini. Inilah kiranya sebabnya
mengapa “merombak dunia” itu tidak tinggal dalil Marx, tetapi menjadi praktek revolusioner,
di Eropa, di Asia, di Afrika, di Amerika Latin, di mana-mana.
Perkenankanlah saya mengunci uraian ini dengan
jawaban atas sebuah pertanyaan: dapatkah filsafat proletariat dipelajari dan
dimiliki oleh massa? Saya menjawab pertanyaan ini dengan positif, karena
seperti dikatakan Bung Aidit: Marx-Engels-Lenin menciptakan untuk proletariat
dan rakyat pekerja pada umumnya.”
__________
Kuliah Njoto di depan Universitas Rakyat, Jakarta, 29 Juni 1961
Dr. Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi.
D.N. Aidit, Ceramah di depan Konferensi
Diplomat-diplomat RI untuk Negara-negara A-A [Asia-Afrika, ed.].
Al Farabi, Tentang Konsepsi.
Dikutip dari J. Piessen, Inleiding tot het Denken
van J.P. Sartre.
Pearson & Anderson, USA - Second Class Power?
Karl Marx & F. Engels, Manifes Partai
Komunis, hal. 87.
Sama, hal. 81.
W.I. Lenin, Nasib Sedjarah Adjaran Karl Marx.
A. Herzen, Selected Philisophical Works.
Fundamentals of Marxism-Leninism, hal. 69.
Konstituante, Risalah Perundingan.
Njoto, PKI dan Pantjasila.
Manifesto Politik R.I.
Dr. Ir. Sukarno, Djalannja Revolusi Kita.
D.N. Aidit, wawancara pers, 28 Agustus 1958.
Dr. Ir. Sukarno, Lahirnja Pantjasila.
Dr. Ir. Sukarno, Membangun Dunia Kembali.
D.N. Aidit, Pilihan Tulisan, jilid II, hal. 139
Associate Press, 28 Djuni 1961.
Depagitprop CC PKI, ABC Politik, Cet. 2, hal.
11.
Sama, Hal. 12.
N.G. Chernishevski, Hubungan Estetik Seni dengan
Realitet, terj. Samandjaja, Bagian Penerbitan LEKRA, 1961, hal. 129-130.
Marx & Engels, Manifes Partai Komunis, hal.
72.
Prof. J.D. Bernal, The Freedom of Necessity,
hal. 353-354.
Mao Ze-dong, Selected Works, jil.IV, hal.
379-380.
Marx & Engels, Manifes Partai Komunis, hal.
61.
Lenin, Polnoe Sobranic Setjinenii, jil. 26, hal.
364.
Marx, Die Moralisierende Kritik und die
Kritisierende Moral, hal. 303-304.
Lenin, Memperingati Herzen, Jajasan Pembaruan,
1960, hal. 5.
Dr. Ir. Sukarno, Menjelamatkan Republik
Proklamasi, 21 Pebruari 1957.
G.V. Plekhanov, Selected Philosophical Works,
vol 1, hal. 457.
Prof. Bertrand Russell, History of Western
Philosophy, hal. 813. 35) Sama, hal. 816.
Comments
Post a Comment